Minggu, 23 Januari 2011

“Bermimpi”



Bercerita tentang asa dan mimpi yang tiada pernah padam. Bermula dari masa kecil, di mana banyak hal yang telah mengajarkan pada diri ini tuk menjadi pribadi yang kokoh dan mandiri. Cercaan, bentakan, kemarahan demi kemarahan, permainan tangan pun tak ayalnya senantiasa menjadi makanan sehari-hari. Namun, motivasi diri tuk senantiasa bertahan, membuat diri ini mampu menghapus pedih dan air mata ini.
Mimpi-mimpi pun coba tuk diukir, dan meyakini, bahwa semua tak akan berlangsung lama. Meyakini, bahwa semua ini tuk mengajarkan pada diri ini bagaimana menjadi sosok yang kuat nantinya, saat diri ini harus menatap dunia yang begitu liar ini.
Lambat laun, waktu berputar hingga mengantarkan diri ini ke dimensi masa kini. Sedikit demi sedikit telah mampu diri ini menorehkan tinta warna pada perjalanan meraih mimpi. Namun, masih saja kemarahan-kemarahan itu senantiasa mengiringi diri ini. Hingga-hingga, sulit tuk diri ini tersenyum. Akan tetapi, semua itu sesegera mungkin tuk dihapus dari permukaan, hingga hanya aku dan Tuhan saja yang tau. Diri ini tak ingin dunia terluka semakin hebat, karena energi negatif yang menyelimuti diri ini.
Mungkin, tak hanya diri ini saja yang merasakan hal ini. Adapun kalian pasti merasakan dan menghadapinya juga. Akan tetapi, bukan ini permasalahannya. Bukanlah pesakitan-pesakitan ini yang menjadi permasalahan terbesar dalam hidup setiap orang, terkhusus sang penulis –kendati kadang begitu lelah menghadapi semua ini-. Akan tetapi, permasalahan terbesarnya adalah, bagaimana diri dapat tetap bangkit, dapat membuktikan pada dunia bahwa diri ini mampu dan dapat berlaku bijak –tidak egois-, tetap memikirkan permasalahan umat sebagai masalah utama, di atas masalah pribadi.
Di saat diri ini menorehkan tulisan ini juga, bukanlah tuk mencurahkan isi hati yang begitu tiada penting –sekalipun secara terbersit, mungkin bisa saja-. Tetapi, tujuan diri menuliskan semua ini adalah tuk berbagi pada semuanya, bahwa masalah pribadi kita itu bukanlah masalah yang besar. Terlebih masalah remaja saat ini yang hanya berkutat pada masalah cinta, pacaran, hura-hura, pergaulan bebas, fashion, dll. Hingga-hingga, mereka lupa akan tugas mereka di muka bumi ini. Tugas dari Sang Pencipta diri ini, tuk mengabdikan diri hanya padaNya, bukan yang lain. Bukan pada pacar, dosen, penguasa ataupun aturan yang berasal dari manusia sekalipun, yang jelas-jelas lemah, terbatas dan sangat bergantung pada yang lain.
Tak jarang, banyak kita jumpai, hanya karena putus cinta, remaja rela bunuh diri, atau mungkin rela menyerahkan mahkota terindahnya kepada orang yang belum halal tuknya. Dan belum tentu, dia mau bertanggung jawab atas semua perbuatannya itu. Sudah dosa, hilang mahkota berharganya, ditinggalin lagi, betapa ruginya –sudah jatuh tertimpa tower, sakit banget-. Dan masih banyak masalah lainnya, yang itu bukan lagi menjadi masalah individu. Mengapa? Karena hal ini telah meresahkan masyarakat –saya, anda, orang tua anda, tetangga anda, dll-.
Semua ini tak lepas dari “Lingkar Setan” yang mengelilingi, menggurita dan mencengkeram kehidupan kita saat ini. Sadar ataupun tak sadar, semua ini adalah kenyataan, bukan mimpi. Maka dari itu, bangunlah kawan! Udah tak berguna lagi orang-orang yang senantiasa ter-nina bobo-kan oleh keadaan yang ada saat ini. Terlebih bagi yang masih berkompromi dengan aturan yang senantiasa memakan tumbal saudara-saudara kita yang tak bersalah dan tak tau apa-apa.
Jangan egois, kawan! jangan mencoba tuk mangkir. Saat jalan revolusilah yang harus kita lakukan. Sungguh, ini bukan NATO, tetapi ini adalah ibarat bola salju yang kian hari kian membesar dan menunggu waktunya saja, kekuatan ini kan menghempaskan, menghancurkan dan meluluh lantakkan sistem maupun aturan yang ada saat ini.
Yang jadi pertanyaan adalah...
“Apakah kalian ingin menjadi pemain ataukah hanya ingin menjadi penonton saja???”
Tentukan pilihan kalian sekarang juga!

Salam REVOLUSI!!!

At 01:02 am
Di tengah persiapan menuju istirahat 2 jam, namun ide-ide senantiasa bergeliat d’benak.
Tentu saja, tak ingin melewatkannya begitu saja.
By: “Mecha”

“Tak Hanya Sekedar Tawa”

Mengapa sih hari-hari harus senantiasa diisi dengan tawa? Padahal kan bila menoleh ke belakang, pada masa Rasulullah dan para Sahabat, justru kita kan sering menangis.
Apakah energi positif itu harus dibagikan dengan tawa? Tak cukupkah seuntai senyum mewakilinya? Dibarengi diskusi-diskusi berbobot, membahas masalah umat dan hal-hal penting lainnya.
Apakah ku yg telah berpikir kuno? Mari ikuti catatan saya berikut ini: “Tak Hanya Sekedar Tawa”




Tiada bermaksud menggugat, menceramahi ataupun membenci yang namanya sebuah aktivitas “tawa” dalam hidup ini. Hanya saja, kadang aktivitas ini menguras habis waktu kita. Menemani setiap tutur kata kita, bahkan diskusi-diskusi yang awalnya berbobot, menjadi tiada terlihat seriusnya atau omong kosong.
Memang benar, senyum dan tawa dapat menjadi obat “awet muda”, kata beberapa pakar kesehatan. Akan tetapi, cobalah tengok kehidupan di luar sana. Adakah tawa kita berimbang dengan derai tangis dan pesakitan yang mereka rasakan?
Kadang pun, entah disadari ataupun tidak. Tawa itu menjadi begitu menggelegar, seakan hidup ini hanya dipenuhi dengan segala hal yg indah. Entahlah, apakah sang pengamat ini terlalu kaku dalam melihat fenomena tersebut, ataukah sudah begitu kaku setiap hati yang ada di hadapan mata ini.
Padahal apabila berkaca pada masa Rasulullah dan para sahabat dulu, waktu yang ada sangat sedikit tuk diisi dengan canda dan tawa. Setiap waktu senantiasa diisi oleh aktivitas ibadah, diskusi, pembinaan, pengaturan urusan rakyat, dan masih banyak lagi. Kemudian juga, di setiap waktu dzikir kepada Allah, tiada pernah terhenti dari bibir para sahabat. Ditambah, saat membaca ataupun dibacakan Firman-firman Allah, maka berderailah air mata dan tersungkurlah mereka. Lantas, apa bedanya dengan saat ini?
Jelas sekali berbeda. Mengapa? Dahulu kan ada Negara yang mengayomi umat begitu kokoh berdiri tegak. Sedangkan sekarang? Tiada ada Negara itu, tiada ada yang menjaga dan mengingatkan umat. Lantas, Apakah tiada ada yang menyadarkan, bahwa kita berada di sebuah aturan yang sejatinya bukanlah milik kita? Dan mengapa justru kita dapat tertawa dengan begitu bahagia?
Dalam surah Maryam ayat 58, Allah berfirman yang artinya sebagai berikut: “Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”
Dari ibnu abi malikah, ia berkata; aku duduk bersama Abdullah bin Amru di atas batu, maka ia berkata: “Menangislah! Jika tidak bisa berusahalah untuk menangis. Jika kalian mengetahui ilmu yang sebenarnya, niscaya salah seorang dari kalian akan shalat hingga patah punggungnya. Dan ia akan menangis hingga suaranya terputus.” (HR. Al-Hakim dalam kitab Shahih-nya, disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dari Anas ra., ia berkata; Rasulullah saw. pernah berkhutbah yang aku tidak pernah mendengar khutbah seperti itu selamanya. Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Kemudian para sahabat Rasulullah saw. menutup wajah mereka dan mereka menangis tersedu-sedu. (Mutafaq ‘alaih)
Sungguh, begitu egois, bila hanya mengisi hari-hari kita dengan penuh tawa. Bukannya tak menginginkan hal demikian. Hanya saja, frekuensinya tak seharusnya berdurasi sebegitu panjangnya. Hingga-hingga tak melihat tempat, baik itu di mushola, masjid, rapat, kajian, dll, senantiasa tawa nan membahana, yang tak menjaga kehati-hatian atasnya.
Jangan sampai hati kita menjadi kering atas tawa itu. Jangan sampai tawa itu justru mendzolimi saudara-saudara kita yang lain, yang harusnya mendapatkan contoh yang selayaknya.
Semoga ini dapat menjadi intropeksi bagi yang menulis maupun yang membaca. Karena kendati kita adalah manusia yang senantiasa tak luput dari kesalahan, tapi, alangkah baiknya, apabila kita senantiasa berhati-hati dalam bersikap.
Semua ini bukan atas nama aktivis dakwah, melainkan karena seorang insan yang telah meyakini dan mengimani keislamanannya secara kaffah dan mendalam, haruslah menjadikan apa yang Allah perintahkan dan Rasulullah contohkan sebagai pedoman dan pandangan hidupnya.

Salam perjuangan, kawan!!!

At 23:27 pm
Saat makar-makar dan propaganda musuh-musuh islam kian menggurita,
Masihkah kita terfokus pada kesenangan-kesenangan kita?
By: “Mecha”

Sabtu, 22 Januari 2011

“Tangisku, Citaku, Mimpiku”

Detik ini, mungkin kau hadapi kegoncangan hati yang begitu sangat. Hingga-hingga motivasi diri yang ingin kau bangun pun rapuh. Rapuh menjadi butir-butir, bahkan begitu lembut melebihi lembutnya pasir. Hancur rasanya diri, saat meratapi dan memikirkan keadaan diri di tengah dinamisasi rotasi dunia.
Tertunduk, terpaku, sepi, di tengah-tengah ramainya gelak dan tawa. Ada apa gerangan diri? Mengapa tak kau hancurkan saja benteng keras itu? Benteng kebathilan yang kian hari kian menutupi langkahmu?
Jikalaupun kau merasa telah menjadi butir-butir pasir, mengapa tak kau bangun kembali butir-butir pasir itu menjadi istana? Istana nan indah tentunya.
Tidakkah kau sadari, betapapun banyak orang-orang sukses dan hebat itu bermula dari beribu-ribu kegagalan? Lalu, telah berapa ribu kah gagalnya dirimu?
Tataplah wajah-wajah yang menantikan emasmu. Wajah-wajah nan senantiasa merinduimu, kendatipun tiada terucap dalam kata maupun pena. Hatinya senantiasa mengetuk hatimu. Sikapnya senantiasa menyayangmu.
Lihatlah, betapa mereka yang ada di depan sana menginginkan kau pun menyusul mereka. Karena tentunya mereka tiada akan bertahan lama di sana. Jika pun bukan kau, lantas siapa lagi kah gerangan?
Diri…
Dalam diam kau menangis. Dalam diam kau rajut cita. Dan dalam diam kau tuliskan mimpi-mimpi yang tiada seorang pun mempercayainya.
Namun, kau mempercayai, bahwa semua itu nyata. Cukup Dia menjadi tempat berharapmu. Tempat kau menuangkan butir-butir permata nan berharga dan menyandarkan lelahmu.
Saat yang lain mengkhianatimu, menyakitimu. Dia tiada pernah meninggalkanmu. Menangislah, bila itu dapat menenangkan hati dan pikiranmu. Karena hanya Dia sebaik-baik penyimpan Rahasia.
Tatkala tangis, cita dan mimpi menyatu dalam sebuah tujuan dan arah yang ingin dilalui. Maka, saat itulah, kau meyakini, kau ada dalam sebuah rencana nan suci dan mulia.
Dia telah menjadikan tangis ini penuh arti, cita ini penuh warna dan makna, serta mimpi ini nyata pada waktunya.
Terima kasih ya Rabb, tiada yang lebih d’cinta selain Engkau.
Bagaimana dengan kalian, Kawan???^^

By: "Mecha"

Senin, 10 Januari 2011

“Bajuin in My Dreams”



Tiada terasa apa yang direncanakan, dapat pula menjadi nyata. Semua ketidak mungkinan ku tepiskan. Karena inginku tuk menuju sebuah tempat yang indah di sana bersama sosok yang tidak asing tukku –suamiku-.
Dingin, takut, dan keinginan diri tuk bersua dengan sosok terkasih, bercampur baur menjadi satu, layaknya bagai pelangi yang berwarna-warni –obsesi es teler pelangi masih membekas di lidah-, nan kian mengitari keinginan tuk bersama, hari ini.
Detik waktu menunjukkan saat-saat penantian –ku dan suami terpisah oleh jarak, karena suatu hal-, hingga tiada terasa akhirnya dirinya tiba di hadapanku.
Tatapan nan penuh kasih sayang menyapaku dengan begitu hangat. “Maaf, membuatmu lama menunggu”. Ku hanya dapat membalasnya dengan senyum yang mewakilkan rasa senangku, dan rasa rinduku padanya dalam kurun waktu tiga bulan lamanya tiada bertemu.
“Berangkat yuks!? Nanti kesiangan”, akhirnya perjalanan pun dimulai. Ku nikmati setiap detik kebersamaan dengannya, ku tak ingin waktu berjalan dengan begitu cepat, bahkan ku ingin, hari ini berjalan dengan sangat panjang.
Ku tatap sekeliling dengan penuh bahagia, kendatipun ku lihat banyak yang cemburu melihat kebersamaan kami –cemburu nih yee..^-^-. Jalan yang begitu penuh dengan bebatuan, seakan tiada terasa. Ah, ternyata kebersamaan ini bagai milik berdua saja.
Ku sangat menyayangi sosok yang kini ada di hadapanku ini. Kendatipun, usia pernikahan kami mungkin masih begitu muda –baru 6 bulan menikah ceritanya- akan tetapi, dengan kebersahajaan dia, ku merasakan ketenangan dan keyakinan, walaupun jarak memisahkan kami.
Lamunanku terbuyarkan saat dia menyadarkanku, bahwa kami telah tiba di tempat yang ku inginkan itu. Tuk kedua kalinya ku ke tempat ini. Setelah beberapa tahun silam, ku dan teman-teman SMP-ku melakukan perjalanan ke tempat ini. Kini, ku penuhi janjiku tuk mengajak mimpiku, bintangku, penyempurna separuh agamaku, –hemm, biarlah orang berkata apa, ini nyata, hanya di hati saya...^-^- ke tempat ini kembali.
Ku tapaki setiap pijakan batu tuk mencapai tempat di mana air terjun itu berada dengan penuh riang. Sengaja ku tak berjalan di sampingnya, karena ku ingin senantiasa menatapnya. Hemm, sosok yang begitu cuek, memang tiada perubahan sama sekali pada dirinya, dan ku benar-benar merindukannya.
Dia seakan mulai memperlambat langkahnya, karena pijakan kali ini sedikit membahayakan, tatkala dicapai seorang diri. Dia menawarkan tuk membantuku, dan ku sambut tawarannya dengan hangat. Hingga, pada akhirnya dapat juga kami capai tempat itu. Indah nian tempat ini, terlebih dengan dirinya di sampingku. Kendatipun banyak pemandangan yang tiada ingin ku lihat.
Hingga, tiada berapa lama –kurang lebih setengah jam- kami berada di sini, tiba-tiba titik hujan mulai menjatuhkan dirinya, seolah ingin mendinginkan permukaan bumi yang kering ini. Kami percepat langkah tuk menuruni puncak air terjun ini, hingga hampir-hampir ku terpleset, dan dengan sigap, dia menahanku. Hemm, dalam setiap detik kebersamaan ini, semakin bertambah pula rasa sayangku padanya.
Hingga, akhirnya kami tiba di bawah kembali. Hemm, ada sedikit kesedihan juga sih, karena itu berarti, kami harus kembali ke dunia kami masing-masing –kaya makhluk beda dunia aja-. Tapi, tak mengapa, semua telah menjadi kesepakatan bersama, demi kehalalan dan RidhoNya. Daripada seperti pemuda/pemudi saat ini, yang menempuh jalan yang tak seharusnya di jalin. Kalaupun karena alasan kesiapan, nampaknya itu bukanlah alasan. Karena semua tentunya dapat dipelajari bersama. Dan ketahuilah saudariku, Barokah dan RidhoNya, itulah yang lebih utama.
Kembali pada perjalanan kami. Perlahan ku teringat pada kata-katanya dulu, sewaktu dia mengkhitbahku. Bahwa, walaupun kita masih muda, namun bukan berarti kita kan menjadi lemah. Justru, kita harus buktikan, bahwa kebersamaan kita kan menjadi titik tumpu bagi kedua orang tua. Kita memiliki tanggung jawab yang besar pada mereka.
Kemudian juga, kita pun harus buktikan pada umat, bahwa dari pelayaran kita berdua dalam mengarungi bahtera dunia tuk mencapai akhiratNya, tentulah kita harus dapat menjadi “kunci pembuka” tuk memperjuangkan masa depan umat dalam mencapai titik kemuliaan, dengan aktivitas kita. Subhanallah, inilah yang membuatku sangat bersyukur mendapatkan anugerah sekaligus titipan yang begitu indah dariNya, kendatipun hanya sementara.
Tanpa sadar, ku hampir saja terjatuh dari tumpangan yang mengantarkan kami berdua menuju perjalanan pulang. Untunglah, dia kembali menahanku –cerobohnya berkali-kali nih- dan nampaknya dia begitu panik. Hemm, sangat menyenangkan dapat menjalani hidup bersamamu, suamiku.
Dan tibalah kami di tempat peristirahatan sementara kami. Tiada banyak waktu kami tuk bersama, karena dia harus kembali dengan agendanya. Setelah menghabiskan beberapa menit waktunya menemui ayah dan bundaku, tuk berpamitan, akhirnya dia pun pergi. Tiadalah mengapa bagiku, karena kebersamaan ini adalah tuk saling melengkapi. Bukan kelebihan yang ku cari darimu, melainkan dengan segala kekurangan, kuharapkan kita dapat saling mengisi dan menguatkan satu sama lainnya.
Terima kasih Sayang,
Terima kasih Cinta,
Ku menyayangimu dan senantiasa kan menemanimu, karena Allah...
Tuk menyongsong masa depan dan semua yang tertulis dalam proposal hidup kita, bersama...
Jaga diri baik-baik di sana, ya sayang...

***Cie, pasti Ngiri kan baca tulisan ane??? Bilang aze pada cemburu kan??? Sengaja cuy...
Coz, hari gini, kalo ceritanya masih dalam dunia sendiri2, hiburan, pacaran, itu mah biasa. Tapi, kali ini, ane ceritain, dengan tujuan agar kita ga ketimpa murkanya Allah. Karena melakukan yang dilarangNya dan meninggalkan yang diperintahkanNya.
It’s for u:
Percayalah, bahwa Allah tiada akan memberikan suatu aturan, terkecuali itu baik tuk hambaNya. Dan letakkanlah segala sesuatu perkara itu berdasarkan Ridho atau tidaknya Allah, bukan berdasarkan pandangan manusia. Percayalah, rezeki, jodoh, maut masing-masing kita, telah ditetapkanNya dengan begitu indah tuk kita. Hanya saja, butuh pengorbanan dan kesungguh-sungguhan diri kita tuk menjemputnya dengan jalan yang benar menurutNya. Bukan memperturutkan pada hawa nafsu semata. Ingatlah, bahwa sesuatu yang baik, pasti kan mendapatkan yang baik pula.
Tidakkah kita cemburu, bila saat ini, orang yang sedang bersama kita, dulunya telah menjadikan dirinya begitu mudah disentuh dna dimiliki oleh orang lain, selain kita? Dan tiadakah kita percaya, bahwa sesuatu itu pasti kan indah pada waktunya.
Apakah kita lebih memilih barang yang terkemas indah di dalam sebuah tempat yang indah dan rapi, ataukah kita lebih memilih barang yang telah diobral dengan harga yang sangat murah, dan telah disentuh oleh banyak orang? –padahal, seharusnya kita malu bila diperbandingkan dengan barang. Karena kita memiliki kelebihan dari pada yg lain, yaitu “AKAL”-
Semoga ini dapat menjadi pelajaran tuk kita semua dan kita dapat mengambil hikmah atas setiap perjalanan hidup yang kita lewati dan hadapi. Agar hidup kita yang satu kali ini, tiada akan pernah sia-sia.
Ingatlah kawan...
“Hidup adalah pilihan. Maka, pilihlah pilihan yang terbaik bila kau inginkan yang terbaik pula tuk masa depanmu, semua!”

Salam perjuangan dari SaudariMu, karena Allah.
Mecha at 01.50 (11/1/2011)
In My Home

“Puing-Puing Masa kecilku”



Singa udara telah menerbangkanku kembali ke sebuah tempat, di mana masa kecilku begitu indah mengisi memori ingatanku. Sepanjang perjalanan terlintas wajah-wajah orang terkasih yang ingin ku temui di sana. Dalam beberapa wajah itu, ada dua wajah yang sangat ku rindui, dua wajah sosok yang menemaniku dan menyayangiku dengan begitu hangatnya.
Tiada terasa butir air mataku mengalir, membasahi pipiku. Seakan waktu begitu lambat berjalan, dalam kilatan pedang waktu yang ku inginkan cepat berlalu. Di sana, di tempat masa kecilku, bermain, tertawa, menangis, dalam dekapan hangat dua abangku.
Tiada terasa, kaki ini telah berada di tempat yang tiada asing tuk ku. Tiada banyak perubahan, namun begitu banyak bayang-bayang masa kecilku berlalu dan mengitari setiap langkahku di sini.
Dua wajah yang ku rindui itu, kini hanya dapat menjadi kenangan. Karena yang dapat ku temui di sini, hanyalah satu sosok wajah, sedangkan yang satu, telah tiada, pergi meninggalkanku tuk selama-lamanya dalam musibah kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Ingin ku katakan, ku rindu. Tapi, ku tak mampu. Ku hanya mampu mengenang bayang-bayangnya yang kian mengitari ingatanku di masa kecil dulu.
“Ku merindui masa itu ya Rabb...
Masa saat ku begitu lincah dalam kenakalanku,
Masa saat tangan-tangan hangat itu senantiasa melindungiku,
Masa saat ku merasakan ketenangan dalam kasih sayang,
Yang tiada lagi ku rasakan kini.
Satu sosok yang begitu tenang menyayangiku,
Dan satu sosok yang begitu pendiam,
Namun sangat menyayangiku dan melindungiku...
Sosok itu seakan mengajarkan banyak hal berharga dalam hidupku,
Periode demi periode waktu kini berlalu,
Saat ku kembali kini dalam peraduanku,
Tiada ku temui lagi semua itu,
Seakan semua kenyataan yang ku terima adalah mimpi...”
Kini, semua hanya menjadi cerita. Cerita yang tiada ku tau bagaimana awal, tengah dan akhir episodenya? Tapi, ku percaya, sosok yang tiada itu, kini tenang di sana. Karena, telah begitu banyak kebaikan dan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah yang ditorehkannya, selama hidupnya. Kendatipun, dia belum tersampaikan apa yang telah ku emban saat ini. Tapi, kan ku sampaikan itu pada malaikat kecilnya, yang begitu persis dengannya.
Dan tuk satu sosok, yang kan mengisi hatinya dengan separuh agamanya, jadilah yang terbaik, tuk dirimu, istrimu dan keluargamu. Walaupun yang ku tau, sangat sulit bagiku jauh darimu, jauh dari kasih sayang abang sepertimu. Karena sedari kecil, ku telah terbiasa dengan kasih sayangmu.
Ku ingin beranjak dari semua memori indah ini. Ku letakkan semua memori ini di dalam sebuah kotak yang kan tersimpan rapi dalam perjalanan diri ini.
Sosok yang telah tiada –Abangku, ku sayang kamu, ku kan slalu do’akanmu di sini-, kini tergantikan oleh satu sosok malaikat kecil nan begitu cantik, yang menggantikan diriku di masa kecil dulu. Menemani orang-orang terkasihku di sini. Hingga ku benar-benar tenang saat beranjak dari sini.
Dan satu sosok, yang tiada dapat ku berdiri saat ini tanpanya, kelak pun kan dijaga oleh satu sosok yang kan melengkapi tulang rusuknya. Pasangan terbaik dariNya, itulah harapku.
Detik-detik keberangkatanku pun kian dekat. Ku inginkan ketika nanti ku kembali, ku dapat membawa mimpiku ke sini. Menggantikan posisi dua abangku yang sedari kecil menjaga dan melindungiku, menyayangi dengan penuh kasih sayang.
Kendatipun begitu samar bayang-bayangnya, namun ku yakin, dia ada dan akan menemaniku, nanti. Amin...

*** Saat tulisan ini ku buat, hatiku tiada terlepas dari kerinduan yang sangat mendalam pada sosok abangku yang tiada dapat ku temui lagi kini.
Ditemani senyum terindah malaikat kecilku, yang menggantikan senyumnya yang sangat ku rindukan itu.
“Kalian adalah yg terindah di masa kecilku... hingga nanti dan sampai kapanpun...”

Cerita Klasik d’Masa Kecil



Tawa riang pagi itu kembali membangunkan burung-burung yang hendak menemui peraduannya. 3 sosok anak manusia yang sedang asyik bercanda ria, seakan membuat iri jangkrik-jangkrik yang tengah mencari makan pagi itu. Ketiganya memiliki sifat yang berbeda-beda.
Sosok yang pertama, adalah gadis kecil nan begitu lincah, nakal dan mengesalkan. Hingga-hingga, tiada satu pun teman sebaya ingin bersahabat dengannya. Sosok yang kedua, adalah pemuda nan cool, tampan, dewasa, penyayang, serta dapat memberikan kehangatan pada siapapun yang dekat dengannya. Dan sosok yang ketiga, adalah sosok pemuda nan pendiam, pemalu, namun begitu berwibawa.
Saling melengkapi. Inilah persaudaraan yang terjalin di antara 3 sosok anak manusia yang hidup di sebuah pedesaan nan begitu sejuk dan nyaman. Bermain bersama, tertawa dan banyak hal dilalui bersama. Kendatipun sosok gadis kecil itu terkadang merasa nyaman dengan sosok abangnya yang dingin itu. Namun, tiada dapat ia pungkiri, ia pun menyayangi abangnya yang pendiam dan pemalu itu.
Kadang, saat tiada satu teman pun yang ingin mendekat pada sosok gadis itu, ia tiada merasa sedih. Karena ia memiliki 2 abang yang senantiasa menemani dan menghiburnya. Bahkan, bisa dikatakan ia dan abang2nya, terkhusus abangnya yang penyayang itu, bagai lem dan perangko. Hingga suatu waktu, gadis kecil itu marah sekali saat ia dapati seorang gadis dewasa begitu dekat dengan abangnya ini. Sungguh, sangat menggelikan bila membayangkan setiap detik perjalanan sang gadis kecil ini.
Hingga waktu pun mulai menggerus dan menghapus semua kenangan dan kebersamaan ini. Dengan begitu banyak kejadian dan alur cerita yang tiada pernah satu sosok manusia pun dapat mengalurkannya.
Selang beberapa waktu, saat gadis kecil itu mulai beranjak dewasa. Terdengar sebuah kabar berita, bahwa salah satu abangnya mengalami kecelakaan yang begitu dahsyat. Hingga nyawanya tiada dapat terselamatkan lagi. Tiada ada yang dapat diperbuat gadis itu, terkecuali menangis dan merasakan kelu di hatinya. Do’a pun senantiasa teriring di setiap akhir sholatnya.
Sebenarnya, ingin sekali segera menuju ke tempat itu. Namun, jarak nan begitu jauh –jawa dan kalimantan- menjadi alasan gadis itu mengurungkan niatnya.
Berselang beberapa lama waktu berjalan, bagai roda yang tiada pernah berhenti berputar, dan bagai bumi yang yang senantiasa berotasi dan berevolusi mengelilingi matahari. Saat tiba masanya, gadis itu menuju tempat yang sangat ia rindui itu. Namun, ia benar-benar tersadar, semua bukanlah mimpi. Tiada lagi ia temui sosok abangnya yang pendiam itu. Kini semuanya hanyalah menjadi sebuah kenangan, antara ia dan seorang abang yang begitu berarti tuk gadis itu. Seolah baru kemarin kebersamaan itu, kini ia telah merasakan kesendirian. Ia telah kehilangan serpihan puing terindah dalam hati dan hidupnya. Begitu pun dengan abangnya yang penyayang. Tiada ia temui pada saat itu, karena dirinya berada di luar negeri, lebih tepatnya di negeri Malaysia.
Kembalilah ia menuju tempat di mana mimpi-mimpinya ia torehkan dan ia sangat berharap, bahwa ia akan mampu meraih semua mimpinya tuk ia bawa pulang kembali ke tempat ia kecil dulu.
Berbagai kesibukan seolah menyita waktu dan pikirannya dari segala hal tentang dirinya, 2 abangnya, dan keluarganya, tuk suatu hal dan permasalahan yang lebih kompleks. Hingga, ia telah merasa bahwa dirinya benar-benar dewasa kini. Dan entah mengapa, saat ia telah dapat menghapus bayang abang-abangnya yang begitu disayangnya itu, tiba-tiba muncul kembali sosok abangnya yang begitu penyayang itu. Namun, kini abangnya itu telah jauh berubah, sangat berbeda. Entah, apakah hanya perasaannya saja. Akan tetapi, memang seperti itulah kenyataannya.
Tiada berapa lama, setelah persaudaraannya kembali utuh, terajut di dalam sebuah jejaring sosial. Tiba-tiba, ayah si gadis itu mengajak dirinya untuk kembali ke tempat ia kecil dulu. Awalnya, ia tiada menginginkan, karena ia begitu sibuk, hingga tiada waktu tuk meninggalkan kesibukkannya itu.
Akan tetapi, setelah ia mendengar, bahwa sang abang yang begitu disayangnya itu telah kembali dari luar negeri dan saat itu sangat ingin bertemu dengan dirinya, maka ia pun meng-iyakan permintaan sang ayah.
Kembalilah ia terbang menuju ke tempat di mana masa kecilnya dulu kini hanya menjadi puing-puing memori klasik yang terhapus oleh waktu dan jarak.
Saat ia menginjakkan kakinya di tempat itu, tiada ada yang berubah, semua masih sama seperti dulu. Bahkan, sapaan orang-orang di sekitar tempatnya itu masih tetap sama, sapaan penuh kasih sayang, menyapa ia, seakan ia masih kecil.
Tetapi, ada satu yang berubah -memori masa kecilnya-, sosok abang yang sangat ia sayang, kini sangat berbeda. Kendatipun abangnya masih tetap menyayanginya seperti dulu. Karena, ia telah menemui dunianya, saat ia dan abangnya terpisah sekian lama.
Tiada banyak yang dapat ia minta dari abangnya. Terkecuali, sisa waktunya saat itu, sebelum abangnya ini pun kan meninggalkannya dengan sebuah tali ikatan yang sangat sakral dan tiada akan dapat dipisahkan oleh apapun, terkecuali kehendakNya.
Hingga, detik-detik keberangkatan gadis itu pun tiba. Gadis itu pun mengatakan apa yang menjadi permintaannya. Bahwa ia inginkan sang abang dapat menjadi pemimpin baik tuk dirinya sendiri, pasangan hidupnya dan yang lain. Menjadi sebuah bintang yang senantiasa bersinar terang, menyinari bumi ini, kendatipun kecil.
Kini, sosok gadis yang dulunya kecil itu akan berjalan sendiri. Mencari sebuah bintang yang akan menyinari hatinya dengan tulus dan apa adanya. Tiada berharap, ia mendapatkannya saat ini. Karena ia percaya, bintangnya itu akan jatuh pada dirinya nanti, suatu saat, ketika dirinya telah benar-benar siap dan dapat berjalan bersama bintang yang ia nantikan di dalam proposal hidupnya.


Mecha at 31 Desember 2010 in Java
“Hari terakhir di Akhir Tahun”
*Semua Pasti kan Indah pada Waktunya*

NB: Teruntuk Abangku yang telah tiada, “Aku sangat Menyayangimu! Malaikat kecil penggantimu, begitu persis dengan aku di masa kecil. Apakah kau pun begitu menyayangiku, Bang?”
Dan teruntuk abangku yang kan merintis perjalanan hidup yang baru, “Aku akan kembali, nanti membawa mimpiku, saat kau pun telah dapat membangun sebuah istana nan begitu sakral dan insya allah penuh dengan Ridho dan BarokahNya. Ku do’akan, Abang mendapatkan yang terbaik dariNya, menjadi pemimpin bagi keluargamu, yang dapat menguatkan saat kau lemah, dan dapat melengkapi kekuranganmu. Serta dapat senantiasa menuntunmu dalam titian menuju SurgaNya.”
I Miss U, All, My Brother...

Opening Faza's Blog

Assalamu'alaikum!
~Ahlan wa sahlan~

Apa Kabarnya Hari ini?
"Alhamdulillah, Selalu Mencerahkan, Luar Biasa Sukses!"

~Allahu Akbar~