Rabu, 23 Februari 2011

"Duka dan Asa di Penghujung Mimpi"



Beberapa hari ini kurasakan banyak hal yang berbeda dari diriku yang biasa. Entah mengapa, ku merasa menyukai diriku yang sekarang. Begitu tenang serta menjadi pribadi yang senantiasa belajar dan belajar. Namun, di tengah semua ini, muncul pula banyak hal yang membuatku justru menjadi bimbang dengan semua yang ku pijak saat ini.
Berawal dari diskusi-diskusi ringan yang kadang justru membuatku tak mengerti, mengapa di saat seperti ini, justru lahir statement tersebut, yang menjadikanku semakin bimbang, mengapa hal itu tak disampaikan dari dahulu saja? Walaupun ku tetap meyakini apa yang ku genggam.
Merambah hingga menuju keadaan sekelilingku yang tiada sesuai dengan apa yang kurasakan dahulu. Apakah yang namanya hukum syara’ itu harus menyesuaikan? Kaku itu memang tak mengenakan. Namun, lantas apakah kelonggaran itu harus kebablasan? Apa bedanya kita dengan mereka kalau seperti itu?
Entahlah apa itu? Ku merasa sangat asing dengan semua ini. Ku menjadi jauh dengan apa yang ku sayangi. Ku antara ada dan tiada. Semuanya benar-benar begitu menyakitkan. Ku mencoba tuk senantiasa tersenyum dalam kepedihan dan kebimbangan ini. Hingga ku bagikan semua ini dengan permataku yang berharga “Bunda”. Sedikit menguatkanku, namun tetap saja membuatku galau untuk kembali.
Ku benar-benar tak sanggup dan tak mampu menatap kekurangan yang ada untuk ku sempurnakan. Ku terlalu bodoh saat melihat kekeliruan itu ada di hadapanku. Entah mungkin karena kekakuanku, atau mungkin yang keliru adalah diriku?
Ya Allah. Ku semakin tak yakin. Dan semakin tak meyakini kan kebersamaan ini. Ku tak sanggup dalam keadaan ini. Semua terlalu baik tuk ku. Mungkin semua berawal dari kesalahan-kesalahanku. Maka dari itu, ku berusaha tuk menghapusnya, namun tak mungkin bisa.
Dan kini ku putuskan. Ku kan mengakhiri semuanya. Ku kan pergi jauh-jauh dari semua gelak tawa dan riuhnya suasana kebersamaan itu. Ku tak layak, dan ku tak kan pernah layak.
Begitu sulit ku ucapkan salam perpisahan ini. Karena semuanya bagaikan mimpi. Namun, ketahuilah, semua ini nyata. Sekarang ku ingin sendiri. Belajar memahami semuanya dari nol.
Di tempat ini, mungkin ku tak kan pernah bisa berkembang. Namun, di tempat yang lain, ku yakin, ku pasti bisa. Ku tak menginginkan eksistensi. Ku pun tak melakukan semua ini tuk satu sosok yang sejatinya fana di dunia ini. Karena ku melakukan semuanya semata-mata tukNya, “Allah”.
Ku yakin, tanpaku, semua tetap kan berjalan dengan baik. Tanpaku, tiada ada lagi nada marah, ataupun raut wajah benci yang kan hadir di tengah-tengah forum. Dan tanpaku, semua kan berjalan dengan normal kembali. Thanks for all.

Selasa, 01 Februari 2011

Meski dirimu bukan milikku
Namun hatiku tetap untukmu
Berjuta pilihan disisiku
Takkan bisa mengantikanmu

Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas
Berikan kesempatan untuk membuktikan
Ku mampu menjadi yang terbaik
Dan masih menjadi yang terbaik

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas
Berikan kesempatan untuk membuktikan
Ku mampu jadi yang terbaik
Dan masih jadi yang terbaik

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Penantian panjang

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Cintaku padamu..
Ku tetap menanti

Meski dirimu bukan milikku
Namun hatiku tetap untukmu

Nikita Willy-Kutetap Menanti

Meski dirimu bukan milikku
Namun hatiku tetap untukmu
Berjuta pilihan disisiku
Takkan bisa mengantikanmu

Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas
Berikan kesempatan untuk membuktikan
Ku mampu menjadi yang terbaik
Dan masih menjadi yang terbaik

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas
Berikan kesempatan untuk membuktikan
Ku mampu jadi yang terbaik
Dan masih jadi yang terbaik

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Penantian panjang

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Cintaku padamu..
Ku tetap menanti

Meski dirimu bukan milikku
Namun hatiku tetap untukmu
Meski dirimu bukan milikku
Namun hatiku tetap untukmu
Berjuta pilihan disisiku
Takkan bisa mengantikanmu

Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas
Berikan kesempatan untuk membuktikan
Ku mampu menjadi yang terbaik
Dan masih menjadi yang terbaik

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas
Berikan kesempatan untuk membuktikan
Ku mampu jadi yang terbaik
Dan masih jadi yang terbaik

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Penantian panjang

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya hanya untukku

Biarkan waktuku
Habis oleh penantian ini
Hingga kau percaya betapa besar
Cintaku padamu ku tetap menanti

Cintaku padamu..
Ku tetap menanti

Meski dirimu bukan milikku
Namun hatiku tetap untukmu

“Penghujung Nafas”

Mungkin terdengar begitu menyeramkan atau mungkin membacanya saja enggan. Bahkan, mungkin ada yang berpikir, “Ngapain sih, ko jadi bikin tulisan kaya gini? Manknya tau, kapan itu semua kan terjadi? Kga usah nakut-nakutin deh!!!”
Uups! Soir buanget sebelumnya. Tiada maksud tuk berbuat sedemikian rupa. Hanya saja, mungkin ini bagian daripada intropeksi diri. Tapi, secara eksplisit –tersirat/terbersit- memang ada keinginan tuk menyadarkan jiwa-jiwa yang telah terlelap begitu lama dengan keadaan yang ada saat ini (berlawanan banget ya ma seorang penulis yang buku-bukunya menuliskan tuk jangan sadarin, sepaket pula).
Mungkin bagi yang punya kaca, dapat berkaca terlebih dahulu sebelum membaca tulisan ini (wew, apa korelasinya coba?). Langkah ini dilakukan tuk memastikan bagaimana ekspresi diri sebelum membaca tulisan ini. Kalau terlihat ekspresi wajah yang begitu segar (kaya buah aza), ceria, dan tiada berberat hati tuk meninggalkan mimpi-mimpi kosong lamanya, maka, join saja tuk membaca tulisan ini. Akan tetapi, bagi yang sedang bermuram durja, layu, lesu (wuih, ko malah kaya sayur-sayuran ya?), dan tak ingin berubah dari keadaan yang ada pada dirinya saat ini, maka, saya rekomendasikan tuk tetap baca tulisan ini!!!hahaha.
Sedikit pembuka dari saya, agar tiada energi negatif saat membaca tulisan ini. Dan supaya tak terkejut saja, ketika nanti telah selesai membaca tulisan ini. Dan salam kenal dari penulis, tuk kawan-kawan yang mungkin tak mengenal saya (sok terkenal aza deh, mank sapa seh loe??? Ane sendiri juga ga kenal siapa ane?haha).
***
Berawal dari mengisi beberapa training kecil-kecilan, kemudian dari hobi membuat tulisan, mengajar anak-anak kecil yang begitu lugu dan polos, dengan pengetahuan dan pemahaman yang hampir keseluruhannya sarat dengan nilai-nilai keislaman. Kemudian, bersinggungan langsung dengan mengajar mahasiswi-mahasiswi yang pada umumnya, kata kebanyakan masyarakat sebagai “Agent of Change”. Mengajar sebuah mata kuliah yang mungkin tiada dianggap penting oleh semua kalangan. Hingga, membuat saya berpikir keras, ada apa gerangan dengan umat saat ini?
Sebelumnya, mungkin akan muncul sebuah pertanyaan. Mengapa sih mau-maunya bersusah payah mengorbankan waktu, tenaga, materi, dan pikiran tuk mengajarkan dan menyebarkan pengetahuan dan memahamkan tentang sesuatu yang pada kenyataannya sangat sedikit sekali yang menganggap bahwasanya keberadaan sebuah “keyakinan” itu penting, bernilai bahkan berharga.
Ketika mencoba menyampaikan dengan perlahan atau mungkin tegas, dengan cara diskusi atau mungkin training, dengan begitu santai atau mungkin serius, dan banyak cara-cara lainnya, tuk membingkis agar semuanya menyadari betapa pentingnya dan membanggakannya “keyakinan” yang telah lama membisu pada diri mereka itu. Bukannya berniat memaksa, hanya saja, sangat disayangkan, predikat yang Allah berikan tuk hamba-Nya sebagai “Khairu ummah” atau umat yang TERBAIK, justru tiada memberikan efek apapun pada tiap-tiap diri umat saat ini –padahal, obat saja bisa memberikan efek-. Di samping tak mengurangi keyakinan pada diri pula, bahwa hanya Allah yang Maha Membolak-balikan hati hamba-Nya. Tapi, tak ada salahnya kan mengusahakan.
Sebenarnya tiada berputus asa dari usaha yang dilakukan, karena apabila membuka mata, hati dan pikiran kita, maka dapat kita lihat, bagaimana saat ini begitu meningkatnya para muallaf di luar negeri sana, di saat mereka memahami akan islam yang kaffah itu sendiri. kendatipun, tantangan yang akan dan harus mereka hadapi pun tak mudah. Kemudian, di satu sisi, sebagian besar umat muslim sendiri juga telah menyadari akan pentingnya hidup di bawah aturan yang hakiki, bukan di bawah sebuah aturan buatan tangan manusia yang sejatinya penuh dengan keterbatasan, kelemahan dan ketergantungan pada yang lain –sungguh egois dan sombong sekali-.
***
Perlahan, di tengah konflik diri yang begitu sangat –kuliah, rumah tangga, organisasi, mengajar sebagai penyokong dakwah itu sendiri-, terkadang energi negatif kian menyeruak, hingga-hingga bisa jadi membuat abai terhadap sesuatu yang utama. Akan tetapi, saat menjadikan semua aktivitas dan kelelahan-kelelahan tadi berporos pada sebuah tujuan yang utama, yaitu dakwah, maka, kan terasa ringan dan mudah tuk dijalani. Inilah sejatinya makna kehidupan. Di mana, tiada satupun aktivitas kita yang tersiakan –bukan tuk menyombongkan diri, hanya sebuah percikan energi bagi yang lain-. Yakinlah, akan sebuah keindahan di depan sana, saat kita menerima semua perintah-Nya dengan hati yang Ikhlas dan penuh dengan kesungguh-sungguhan.
***
Berangkat dari begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat muslim saat ini. Sangat jauh berbeda dengan kaum muslim dahulu, saat memiliki tempat bernaung dan mengadu. Ibarat seorang anak, dahulu kita memiliki induk yang senantiasa menyayangi dan melindungi kita. Namun, sekarang, induk kita telah dibunuh oleh kaum kaffir yang sangat jelas kebenciaannya dan ketidak ridhoan mereka pada kita –umat muslim- (QS. Al-Baqarah: 120); dan bahkan tak hanya sampai di situ saja, mereka telah menghilangkan serta menghapus seluruh memori ingatan kita akan induk kita itu, bahw a kita pernah hidup aman, bahagia, tenteram dalam kasih sayangnya, perlindungannya, serta penjagaannya. Begitulah, umat islam saat ini. Telah kehilangan negara yang menaunginya dengan aturan-aturan yang hakiki.
Semua itu, selain dikarenakan lemahnya serta mengabaikannya umat pada poros hakiki aktivitas hidupnya –dakwah-, juga dikarenakan kebencian yang mendalam dari musuh-musuh islam. Tiada pernah lelah merek a habiskan waktu mereka tuk memikirkan dan merancang konspirasi atau makar-makar tuk menghancurkan umat islam. Bahkan, hampir 2/3 waktu mereka habis tuk hal sia-sia itu. Tapi, sangat disayangkan. Justru umat muslim terlena dan tertidur dengan pulasnya dalam mimpi-mimpi yang sejatinya adalah makar dan konspirasi orang-orang kaffir tersebut.
***
Remaja dan Pergaulannya
Lihat saja, bagaimana para remaja muslim saat ini yang hidup dengan gemerlap kemewahan dunia. Fashion, food, film, fun fulus, dll menjadi orientasi hidup mereka, dengan menjadikan luar negeri sebagai poros percontohan. Padahal, apabila menilik pada identitas yang ada di dalam dompet mereka, sungguh, memalukan tuk melihatnya. Mereka hidup dalam budaya, yang bukan berasal dari keyakinan mereka. Liat saja, bagaimana budaya pakaian mini, tembus pandang, rambut warna-warni, gonta-ganti pasangan, berhubungan layaknya suami-isteri di sembarang tempat, padahal sejatinya mereka tidak halal satu sama lainnya. Apa bedanya, dengan orang-orang yang di luar islam? Padahal, sebagai seorang muslim, Allah telah memberikan dua pedoman yang harus menjadi pegangan hidup setiap muslim, yaitu: Al Qur’an dan As sunnah.
Hingga-hingga, lucu sekali, ketika kita ingin melaksanakan sebuah ibadah yang kecil sekalipun, seperti mengucapkan salam, kita justru menjadi bingung. Apakah yang kita kasih salam ini seorang muslim/muslimah atau non-muslim? –karena haram mengucapkan salam pada non-muslim-.
Kemudian, fakta juga membuktikan, bahwa remaja saat ini yang hampir 60% nya tidak perawan lagi, dan 30% nya pernah melakukan aborsi. Benar-benar sungguh memalukan dan menyedihkan! Ini baru dari segi remaja dan pergaulannya. Belum masuk ke aspek yang lain (wew, menyeramkan sekali).

Ekonomi
Bagaimana perekonomian kapitalis saat ini yang sejatinya penuh dengan prinsip-prinsip ribawi –padahal Allah telah jelas-jelas mengharamkannya-, penuh dengan ketimpangan antara si-Kaya dan si-Miskin, begitu menggurita dan menyiksa serta menghabiskan banyak korban dari rakyat yang tak tau apa-apa dan tak bersalah. Seakan mau tidak mau, kita dipaksa tuk terkotori, kendatipun kita telah memperkuat diri kita dengan aqidah yang kokoh. Apakah, hanya dengan membuat lembaga-lembaga ekonomi syariah, sebagai pembanding ekonomi konvensional, itu dapat menjadi solusi?
Jawabannya “TIDAK”.
Karena, hal itu hanya diibaratkan obat bius, yang mengobati sejenak. Dan bisa jadi, di kemudian hari obat itu justru tak berfungsi lagi, dan bahkan bisa jadi membuat penyakitnya menjadi lebih parah dan mematikan.

Hukum
Saat hukum-hukum buatan tangan manusia, yang sejatinya penuh dengan keterbatasan diterapkan. Di tengah tuntutan aqidah yang mengharuskan kita tuk menerapkan islam secara kaffah. Padahal, Allah sendiri memerintahkan umat islam tuk masuk ke dalam islam secara kaffah (menyeluruh), bukan sebagian-sebagian. (QS. Al-Baqarah: 208)
Sehingga, bisa disaksikan. Bagaimana kemarahan Allah senantiasa ditunjukkan pada kita. Melalui ujian-ujian bencana, pemerintahan yang senantiasa tak beres dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, undang-undang yang sejatinya pro kepada pengusaha dan penguasa, hukum yang sejatinya dapat dibeli, sehingga bersifat lemah kepada pemilik modal dan bersifat memaksa kepada rakyat kecil.
Adakah hukum yang demikian dapat memberikan ketenangan, kebahagiaan, kedamaian tuk kita? Sosok makhluk yang sejatinya terbatas, lemah dan bergantung pada sesuatu.
Masih kurangkah nikmat dan kuasa yang telah Allah berikan tuk membuka mata, hati dan pikiran kita? Hingga-hingga, masih saja sifat menyombongkan diri ada di dalam diri kita. Bayangkan, bagaimana bila dalam satu hari saja, kita tidak dapat bernafas? Bagaimana bila dalam seminggu kita tidak dapat makan? Bagaimana bila dalam menjalani hari-hari kita, justru kita kehilangan penglihatan, pendengaran, dll? Lantas, nikmat dan kuasa Allah yang manakah, yang kalian dustakan?

Pendidikan
Lihatlah, saat yang namanya kecerdasan dan kepandaian itu hanya dirasakan oleh mereka-mereka yang memiliki uang. Sedangkan, mereka-mereka yang miskin dipaksa tuk hidup dalam kebodohan. Dan pada akhirnya apa? Justru mereka-mereka yang memiliki kepandaian itu senantiasa membodohi orang-orang miskin yang tak memiliki pengetahuan atau pemahaman apapun atasnya.
Dan masih banyak aspek lainnya, seperti militer kita yang sejatinya hanya terkonsen tuk tugas-tugas ringan –bisa jadi tuwh senjata pada karatan-, karena saat negara-negara muslim lainnya membutuhkan bantuan militer, justru militer kita adem ayem –padahal dalam islam, antara umat muslim yang satu dengan yang lainnya, itu diibaratkan satu tubuh, ketika yang satu sakit dan terluka, maka yang lain pun merasakannya-. Tapi, sangat berbeda perlakuannya, saat seorang kepala negara dari sebuah negara adikuasa –yang sejatinya melalui kebijakannya (tangannya), telah banyak memakan korban dari kaum muslim- berkunjung ke negeri ini. Justru, seluruh senjata dikerahkan tuk mengamankannya –hemm, lebay mode on-.
***
Kapitalisme ( Liberalisme, Sekularisme dan Demokrasi) inti Permasalahan
Telah jelas, bahwa permasalahan yang ada di depan mata kita, dari dahulu –semenjak Daulah Khilafah runtuh- hingga saat ini, semuanya adalah permasalahan yang tersistematis. Bukan hanya masalah yang terkait aqidahnya saja, atau mungkin akhlaknya saja, tapi ini adalah terkait aturan/syariat yang diterapkan di bumi-Nya ini, bukan aturan yang berasal dari-Nya. Sehingga, tak ada yang menjaga aqidah umat, baik melalui legalisasi hukum-hukum yang ada ataupun dari kontrol masyarakat , walaupun setiap individunya telah memiliki ketakwaan yang luar biasa. Dan pada akhirnya, akhlaknya pun tidak menghasilkan akhlak yang sejatinya seorang muslim.
Seandainya dibuat sebuah perumpamaan. Apa jadinya, apabila sebuah laptop difungsikan menggunakan prosedur aturan pakai sebuah mesin cuci. Sudah jelas, pasti rusak! Apalagi kehidupan, alam semesta dan manusia di bumi ini yang sejatinya begitu kompleks.
***
Islam The Best Regulation in World
Aqidah Islam menjadi dasar terbentuknya mabda’ (Ideologi), Hadharah (peradaban), serta Negara dan PeraturanNya.
Iman yang kokoh menghendaki totalitas dalam ketundukkan kepada syariat islam, sebagaimana derajat taqwa (menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya).
“Keyakinan yang benar akan menjadi dasar sebuah Kebangkitan.”
Firman Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam islam secara kaffah (menyeluruh) dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
“Maka demi Rabbmu, mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidka merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
“Dan tidak pantas bagi mukmin laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
“Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah, bagi orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Maka, di penghujung nafas kita, yang tiada seorang pun dapat menerka-nerka ataupun mengetahui kapankah waktu itu kan tiba? Maksimalkanlah seluruh energi, waktu, materi, darah kita sekalipun, tuk sebuah tujuan yang hakiki, yaitu Kemuliaan Islam.
Allahu Akbar!!!

Pada titik nadir yang hampir menuju akhirnya,
Namun, tiada pernah berakhir perjuangan mulia ini.
Dikehendaki ataupun tidak,
Diusahakan ataupun didiamkan saja.
Kehendak-Nya, tiada seorangpun yang dapat menghalangi.
Yang menjadi pertanyaan,
Apakah kita ingin kemuliaan itu hanya kan bertahan dalam 1 hari saja?
Maka, maksimalkanlah, kawan!
Impian ini nyata pada akhirnya nanti...


At 13:02 PM
By: “Mecha”

“Waktu”

Detik-detik waktu yang begitu menjemukan, kian mengitari hari-hariku. Entah karena hal apakah, akhir-akhir ini bayang-bayang dimensi waktu di masa silam kian menyeruak, masuk dan membayang-bayangi alam bawah sadarku maupun alam nyata. Terlebih, saat beberapa pihak terdekatku kian menekanku baik dengan sesuatu yang ku sendiri tak mampu tuk menyelesaikannya. Namun, ku senantiasa dipacu tuk mampu melakukannya.
Berhari-hari ku habiskan banyak waktu tuk memikirkan, ada apa gerangan di balik semua ini? Apakah diriku mulai tak ikhlas tuk menjalani semua ini? Ditambah lagi, di satu sisi justru ku merasakan beberapa asa yang tak mampu tuk ku gapai di masa lalu, kian menumpuk dan menjadi sebuah energi negatif tukku. Sulit rasanya tuk menerima dan memaafkan, kendati lisan telah berkata tuk melupakan, merelakan dan mengikhlaskannya.
Gontai, hampa, kering, tiada bermakna rasanya hari-hariku tuk ku jalani. Langkahku mulai tiada terarah, namun, sesegera mungkin ku tarik diriku agar kembali dari semua –kegilaan- ini. Betapa sia-sianya hidupku.
Di tengah kian semarak dan kian membahana semangat serta gerak dari orang-orang di sekitarku. Mengisi waktu, pikiran, bahkan setiap aliran darah mereka tuk suatu masalah di luar masalah mereka sendiri. Ku semakin berpikir betapa egoisnya diriku. Hanya karena keterbatasanku ini sajakah, ku harus mengorbankan semua mimpi yang telah ku ukir?
Hingga kemudian, ku bertemu dengan seorang akhwat –sebutan untuk seorang cwe dalam islam-, di mana ku percaya bahwa dia dapat menjaga semua rahasiaku. Ku tuangkan semua isi hatiku padanya, hingga-hingga tiada satu pun yang tertinggal. Sempat kesal juga sih ma ini orang. Karena, saat ku minta jalan keluar dari semua masalah ini, dia justru hanya memberikan satu jawaban yang begitu singkat, namun membutuhkan energi yang begitu besar tuk memikirkan artinya.
Dia mengatakan, bahwa kunci tuk menyelesaikan semua masalah itu justru ada pada diriku sendiri. Hemm, ku jadi berpikir, tau gini mendingan ku simpan saja masalahku sendiri. Tapi, setidaknya dengan ku menceritakannya, itu mengurangi sedikit beban dalam pikiranku –jadi, jangan sungkan loe tuk berbagi cerita dengan orang-orang yang kalian percaya, daripada entar STRESS-.
Ku terdiam sejenak. Berpikir dan berpikir. Apa gerangan maksud dari kata-katanya tadi? Mengapa justru kunci permasalahan itu ada diriku sendiri? Beribu-ribu pertanyaan kian menyeruak memenuhi otakku. Sejenak berlalu, entah mungkin baginya itu terlalu lama. Dia pun kemudian menyadarkanku dari pertanyaan-pertanyaan yang justru membuatku semakin bingung.
Kemudian dengan begitu santai dia jelaskan maksud dari perkataannya tadi. Seolah dia memahami bahwa ku sama sekali tak mengerti dengan jawabannya itu. Entahlah, raut muka yang seperti apa yang ku tunjukkan, atau justru ku memang benar-benar begitu bodoh? Hingga-hingga ku tak memahami arti dari satu jawaban singkat itu. Sungguh payah.
Mendengar setiap kata demi kata yang tertata dengan penuh semangat keluar dari lisannya, membuat diriku juga seakan-akan ikut terbakar oleh semangatnya. Ku jadi berpikir, kolot banget cara berpikirku. Ternyata, ku bukan hanya egois, tapi juga tak bisa mensyukuri atas apa yang ku dapatkan selama ini. Hingga-hingga, ku senantiasa berpikir ku tak mampu dan tak mampu. Hari-hariku hanya ku penuhi dengan memori masa silam, yang sesungguhnya tiada menguntungkanku bahkan bisa jadi itu adalah sampah dalam hidupku.
Benar saja kata dia, kunci dari masalah ini terletak pada diriku sendiri. Apakah ku ingin berubah, ataukah hanya tetap seperti ini saja? Apakah ku kan senantiasa menjadi masalah tuk yang lain, padahal sesungguhnya, yang lain membutuhkan ku tuk menjadi pemecah masalah mereka? Apakah ku hanya meratapi setiap kelemahan dan keterbatasan yang ada pada diriku, padahal, Allah telah berikanku nikmat dan potensi yang tiada dapat ku dan kalian hitung? Dan masih banyak pertanyaan yang tak dapat ku uraikan satu persatu, yang memperlihatkan, betapa dzolimnya ku kepada diriku sendiri, maupun kepada yang lain. Terlebih pada satu sosok yang senantiasa tiada pernah lelah menemani hari-hariku. Namun, ku tiada menyadariNya. Lantas, nikmatNya yang manakah yang ku dan mungkin kalian dustakan?
Tanpa ku sadari, wajahku telah basah oleh kemilau-kemilau bening air mata. Ku semakin malu pada diriku sendiri. Terlebih pada dia, teman baruku. Dan pada Dia, Sang Penjaga Hidupku.
Hingga kemudian, ku bertekad kuat dan berjanji pada diriku sendiri tuk keluar dari semua ini. Berhenti berpikir dan bersikap egois. Karena masih banyak hal yang lebih penting dari yang ku hadapi selama ini. Dan ku pun semakin yakin, bahwa bahwa ku layak tuk sukses. Ku pun belajar dan senantiasa belajar tuk menjadi sosok yang Luar Biasa seperti temanku itu. Hingga ku temukan diriku seperti saat ini.
Walaupun tetap dengan begitu banyak kelemahanku. Akan tetapi, ku temukan kelebihan demi kelebihan di setiap kelemahan dan kekuranganku itu. Dan ku sangat mensyukuri atas semua ini. Sekalipun, sempat terbersit, bahwa sesungguhnya, suatu saat nanti, mungkin ku tiada kan layak tuk mendapatkan yang terbaik. Namun, sekali lagi ku dikuatkan oleh keyakinanku sendiri, bahwa ku pasti dapatkan yang terbaik, asalkan ku pun mengusahakannya dan Allah pun mengijinkannya.
Dan semenjak itu, ku benar-benar merasakan, bahwa hidupku sekarang begitu indah. Indah dalam setiap kelelahan, indah dalam sebuah ukhuwah, indah dalam setiap perjuangan yang sangat sedikit orang menginginkannya terlebih turut ikut di dalamnya, indah karena hidupku dapat bermanfaat tuk yang lain, dan masih banyak lagi keindahan lainnya.
Terima kasih ya Allah, tuk semuanya. Terima kasih Rasulullah, telah Engkau bawa kami dari gelapnya kehidupan dan zaman menuju terangnya kehidupan dan peradaban, walaupun kini semuanya kembali terhempaskan dan diabaikan oleh umatmu sendiri. Tapi, ku berjanji, ku dan kawan-kawan akan mengembalikan kegemilangan dan kejayaan itu, kejayaan “ISLAM”, yang senantiasa dihalang-halangi oleh musuh-musuh Allah karena ketakukan-ketakutan mereka, namun sungguh usaha mereka itu sia-sia. Karena, janji Allah itu pasti. Terima kasih bunda dan ayah, telah kalian rawat dan jaga ku sebagai amanah yang Dia titipkan pada kalian. Terima kasih ade –buat adeku loe, tapi, secara terbersit buat ade2ku yang lain juga dan mungkin buat yang bernama ade juga bisa-, karena kau telah memenuhi permintaanku tuk tekun menuntut ilmu di sana. Jangan kau prioritaskan hidup tuk materi. Karena itu adalah tanggung jawabku sebagai ka2. Insya allah, pasti ada jalan tuk menjemput rezekiNya. Jadikan dakwah menjadi prioritas utama kau dan yang lain. Terima kasih teman, tuk semua kekuatan, kebersamaan dan pembelajaran yang kita lalui bersama. Dan terima kasih umat, tuk semua kepercayaan kalian kepadaku. Ku berjanji, ku tiada kan mengecewakan kalian semua.

Titik awal, titik tolak dan titik konsentrasi perjuangan di akhir kitab kedua,
Dan menjadi awal di perjuangan nyataku.

At 12:54 AM
By: “Mecha”

“Waktu”

Detik-detik waktu yang begitu menjemukan, kian mengitari hari-hariku. Entah karena hal apakah, akhir-akhir ini bayang-bayang dimensi waktu di masa silam kian menyeruak, masuk dan membayang-bayangi alam bawah sadarku maupun alam nyata. Terlebih, saat beberapa pihak terdekatku kian menekanku baik dengan sesuatu yang ku sendiri tak mampu tuk menyelesaikannya. Namun, ku senantiasa dipacu tuk mampu melakukannya.
Berhari-hari ku habiskan banyak waktu tuk memikirkan, ada apa gerangan di balik semua ini? Apakah diriku mulai tak ikhlas tuk menjalani semua ini? Ditambah lagi, di satu sisi justru ku merasakan beberapa asa yang tak mampu tuk ku gapai di masa lalu, kian menumpuk dan menjadi sebuah energi negatif tukku. Sulit rasanya tuk menerima dan memaafkan, kendati lisan telah berkata tuk melupakan, merelakan dan mengikhlaskannya.
Gontai, hampa, kering, tiada bermakna rasanya hari-hariku tuk ku jalani. Langkahku mulai tiada terarah, namun, sesegera mungkin ku tarik diriku agar kembali dari semua –kegilaan- ini. Betapa sia-sianya hidupku.
Di tengah kian semarak dan kian membahana semangat serta gerak dari orang-orang di sekitarku. Mengisi waktu, pikiran, bahkan setiap aliran darah mereka tuk suatu masalah di luar masalah mereka sendiri. Ku semakin berpikir betapa egoisnya diriku. Hanya karena keterbatasanku ini sajakah, ku harus mengorbankan semua mimpi yang telah ku ukir?
Hingga kemudian, ku bertemu dengan seorang akhwat –sebutan untuk seorang cwe dalam islam-, di mana ku percaya bahwa dia dapat menjaga semua rahasiaku. Ku tuangkan semua isi hatiku padanya, hingga-hingga tiada satu pun yang tertinggal. Sempat kesal juga sih ma ini orang. Karena, saat ku minta jalan keluar dari semua masalah ini, dia justru hanya memberikan satu jawaban yang begitu singkat, namun membutuhkan energi yang begitu besar tuk memikirkan artinya.
Dia mengatakan, bahwa kunci tuk menyelesaikan semua masalah itu justru ada pada diriku sendiri. Hemm, ku jadi berpikir, tau gini mendingan ku simpan saja masalahku sendiri. Tapi, setidaknya dengan ku menceritakannya, itu mengurangi sedikit beban dalam pikiranku –jadi, jangan sungkan loe tuk berbagi cerita dengan orang-orang yang kalian percaya, daripada entar STRESS-.
Ku terdiam sejenak. Berpikir dan berpikir. Apa gerangan maksud dari kata-katanya tadi? Mengapa justru kunci permasalahan itu ada diriku sendiri? Beribu-ribu pertanyaan kian menyeruak memenuhi otakku. Sejenak berlalu, entah mungkin baginya itu terlalu lama. Dia pun kemudian menyadarkanku dari pertanyaan-pertanyaan yang justru membuatku semakin bingung.
Kemudian dengan begitu santai dia jelaskan maksud dari perkataannya tadi. Seolah dia memahami bahwa ku sama sekali tak mengerti dengan jawabannya itu. Entahlah, raut muka yang seperti apa yang ku tunjukkan, atau justru ku memang benar-benar begitu bodoh? Hingga-hingga ku tak memahami arti dari satu jawaban singkat itu. Sungguh payah.
Mendengar setiap kata demi kata yang tertata dengan penuh semangat keluar dari lisannya, membuat diriku juga seakan-akan ikut terbakar oleh semangatnya. Ku jadi berpikir, kolot banget cara berpikirku. Ternyata, ku bukan hanya egois, tapi juga tak bisa mensyukuri atas apa yang ku dapatkan selama ini. Hingga-hingga, ku senantiasa berpikir ku tak mampu dan tak mampu. Hari-hariku hanya ku penuhi dengan memori masa silam, yang sesungguhnya tiada menguntungkanku bahkan bisa jadi itu adalah sampah dalam hidupku.
Benar saja kata dia, kunci dari masalah ini terletak pada diriku sendiri. Apakah ku ingin berubah, ataukah hanya tetap seperti ini saja? Apakah ku kan senantiasa menjadi masalah tuk yang lain, padahal sesungguhnya, yang lain membutuhkan ku tuk menjadi pemecah masalah mereka? Apakah ku hanya meratapi setiap kelemahan dan keterbatasan yang ada pada diriku, padahal, Allah telah berikanku nikmat dan potensi yang tiada dapat ku dan kalian hitung? Dan masih banyak pertanyaan yang tak dapat ku uraikan satu persatu, yang memperlihatkan, betapa dzolimnya ku kepada diriku sendiri, maupun kepada yang lain. Terlebih pada satu sosok yang senantiasa tiada pernah lelah menemani hari-hariku. Namun, ku tiada menyadariNya. Lantas, nikmatNya yang manakah yang ku dan mungkin kalian dustakan?
Tanpa ku sadari, wajahku telah basah oleh kemilau-kemilau bening air mata. Ku semakin malu pada diriku sendiri. Terlebih pada dia, teman baruku. Dan pada Dia, Sang Penjaga Hidupku.
Hingga kemudian, ku bertekad kuat dan berjanji pada diriku sendiri tuk keluar dari semua ini. Berhenti berpikir dan bersikap egois. Karena masih banyak hal yang lebih penting dari yang ku hadapi selama ini. Dan ku pun semakin yakin, bahwa bahwa ku layak tuk sukses. Ku pun belajar dan senantiasa belajar tuk menjadi sosok yang Luar Biasa seperti temanku itu. Hingga ku temukan diriku seperti saat ini.
Walaupun tetap dengan begitu banyak kelemahanku. Akan tetapi, ku temukan kelebihan demi kelebihan di setiap kelemahan dan kekuranganku itu. Dan ku sangat mensyukuri atas semua ini. Sekalipun, sempat terbersit, bahwa sesungguhnya, suatu saat nanti, mungkin ku tiada kan layak tuk mendapatkan yang terbaik. Namun, sekali lagi ku dikuatkan oleh keyakinanku sendiri, bahwa ku pasti dapatkan yang terbaik, asalkan ku pun mengusahakannya dan Allah pun mengijinkannya.
Dan semenjak itu, ku benar-benar merasakan, bahwa hidupku sekarang begitu indah. Indah dalam setiap kelelahan, indah dalam sebuah ukhuwah, indah dalam setiap perjuangan yang sangat sedikit orang menginginkannya terlebih turut ikut di dalamnya, indah karena hidupku dapat bermanfaat tuk yang lain, dan masih banyak lagi keindahan lainnya.
Terima kasih ya Allah, tuk semuanya. Terima kasih Rasulullah, telah Engkau bawa kami dari gelapnya kehidupan dan zaman menuju terangnya kehidupan dan peradaban, walaupun kini semuanya kembali terhempaskan dan diabaikan oleh umatmu sendiri. Tapi, ku berjanji, ku dan kawan-kawan akan mengembalikan kegemilangan dan kejayaan itu, kejayaan “ISLAM”, yang senantiasa dihalang-halangi oleh musuh-musuh Allah karena ketakukan-ketakutan mereka, namun sungguh usaha mereka itu sia-sia. Karena, janji Allah itu pasti. Terima kasih bunda dan ayah, telah kalian rawat dan jaga ku sebagai amanah yang Dia titipkan pada kalian. Terima kasih ade –buat adeku loe, tapi, secara terbersit buat ade2ku yang lain juga dan mungkin buat yang bernama ade juga bisa-, karena kau telah memenuhi permintaanku tuk tekun menuntut ilmu di sana. Jangan kau prioritaskan hidup tuk materi. Karena itu adalah tanggung jawabku sebagai ka2. Insya allah, pasti ada jalan tuk menjemput rezekiNya. Jadikan dakwah menjadi prioritas utama kau dan yang lain. Terima kasih teman, tuk semua kekuatan, kebersamaan dan pembelajaran yang kita lalui bersama. Dan terima kasih umat, tuk semua kepercayaan kalian kepadaku. Ku berjanji, ku tiada kan mengecewakan kalian semua.

Titik awal, titik tolak dan titik konsentrasi perjuangan di akhir kitab kedua,
Dan menjadi awal di perjuangan nyataku.

At 12:54 AM
By: “Mecha”

“Kau”

Sungguh...
Ini bukanlah sebuah judul yang menyiratkan sebuah cinta semu saja.
Bukan pula nantinya menjadi ungkapan-ungkapan yang tiada berarti.
Karena sejatinya semua ini adalah rangkaian kata atas sebuah mimpi yang ingin dibangun,
Mimpi yang kadang sempat surut, menghilang bersama tiupan angin dunia.
Kadang diri ini begitu kuat menghadapi terpaan demi terpaan, ujian, bahkan tantangan demi tantangan seorang diri.
Namun, ketika menilik ke dalam perjalanan ini, nampak ada yang kurang.
Kendati telah bertemankan dua permata terindah, kawan-kawan, di mana semuanya senantiasa menemani dengan suka dukanya.
Namun, di saat duka menerpa, di saat kelemahan kian menyeruak, di saat tiada tempat selain-Nya tuk mengadu, ada sesuatu yang kurang.
Bukan karena ingin cinta sejati ini terbagi, akan tetapi, justru menginginkan agar cinta ini semakin lengkap dan kokoh serta berbunga indah.
Akan tetapi, bukan keterpaksaan yang diinginkan,
Karena, sejatinya diri ini penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Tuk satu sosok yang dinanti,
Smoga, kau dapat menemani langkah dan perjuangan ini,
memenuhi hati ini hanya dengan cinta-Nya,
Menguatkan Pemahaman kan Islam yang Kaffah,
Dan dapat menerima kelemahan serta kekurangan diri ini,
Tuk menjadi kelebihanmu.

My Dreams
“Mecha”

“Kau”

Sungguh...
Ini bukanlah sebuah judul yang menyiratkan sebuah cinta semu saja.
Bukan pula nantinya menjadi ungkapan-ungkapan yang tiada berarti.
Karena sejatinya semua ini adalah rangkaian kata atas sebuah mimpi yang ingin dibangun,
Mimpi yang kadang sempat surut, menghilang bersama tiupan angin dunia.
Kadang diri ini begitu kuat menghadapi terpaan demi terpaan, ujian, bahkan tantangan demi tantangan seorang diri.
Namun, ketika menilik ke dalam perjalanan ini, nampak ada yang kurang.
Kendati telah bertemankan dua permata terindah, kawan-kawan, di mana semuanya senantiasa menemani dengan suka dukanya.
Namun, di saat duka menerpa, di saat kelemahan kian menyeruak, di saat tiada tempat selain-Nya tuk mengadu, ada sesuatu yang kurang.
Bukan karena ingin cinta sejati ini terbagi, akan tetapi, justru menginginkan agar cinta ini semakin lengkap dan kokoh serta berbunga indah.
Akan tetapi, bukan keterpaksaan yang diinginkan,
Karena, sejatinya diri ini penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Tuk satu sosok yang dinanti,
Smoga, kau dapat menemani langkah dan perjuangan ini,
memenuhi hati ini hanya dengan cinta-Nya,
Menguatkan Pemahaman kan Islam yang Kaffah,
Dan dapat menerima kelemahan serta kekurangan diri ini,
Tuk menjadi kelebihanmu.

My Dreams
“Mecha”

Opening Faza's Blog

Assalamu'alaikum!
~Ahlan wa sahlan~

Apa Kabarnya Hari ini?
"Alhamdulillah, Selalu Mencerahkan, Luar Biasa Sukses!"

~Allahu Akbar~