Rabu, 07 September 2011

“Ku mengimani-Nya karena Dia menyejukkan hidupku!”

“Ku meyakini-Nya karena begitu banyak mukjizat yang ku temui di dunia ini!”

“Ku mempercayainya karena orang tuaku yang melahirkanku dalam keadaan muslim.”

Dan lain sebagainya.

Pernahkah kata-kata tersebut terlontar dari lisan kita? Tentulah ada, sekalipun hanya sesekali, dan itu pastinya dahulu, saat kita hanya memahami keyakinan kita hanya sekedar ritual keseharian yang kita laksanakan sebagai tuntutan seorang yang memiliki keyakinan.

Namun, adakah sempat terpikirkan, bagaimana titian jalan keimanan yang sebenarnya? Adakah kita membuktikannya dengan akal kita? Ataukah hanya dengan perasaan kita saja?

Bahkan di dalam banyak ayat, Allah senantiasa mengakhiri kalamNya dengan kata-kata “…bagi orang-orang yang berakal”. Namun, pun terdapat juga ayat-ayat yang di sana menekankan kepada bagaimana sesuatu itu dirasa dengan hati kita, semisal dalam keyakinan itu sendiri kan harusnya diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dilaksanakan dalam sebuah perbuatan.

Maka, hendaknya ada keselarasan, keserasian dan penempatan-penempatan atasnya. Dan tentulah pasti, meletakkan keduanya di bawah sebuah kaidah baku yang hakiki, yaitu SyariatNya.

Karena sebagaimana yang kita pahami, menapaki sebuah jalan keimanan hanya dengan perasaan, sama saja dengan mengikatkan diri pada sebuah tali yang lemah, dan mudah putus. Tetapi berbeda dengan merentas jalan keimanan melalui proses berpikir, terlebih melalui kaidah berpikir yang cemerlang dan mendalam. Dalil aqli dan naqli yang menjadi pondasi mendasarnya.

Sehingga, haruslah tercipta suatu lingkaran yang kondusif untuk membangun pemikiran serta perasaan yang satu, dalam sebuah peraturan hidup yang satu pula, yaitu SyariatNya.

Antara Akal dan Hati

“Ku mengimani-Nya karena Dia menyejukkan hidupku!”

“Ku meyakini-Nya karena begitu banyak mukjizat yang ku temui di dunia ini!”

“Ku mempercayainya karena orang tuaku yang melahirkanku dalam keadaan muslim.”

Dan lain sebagainya.

Pernahkah kata-kata tersebut terlontar dari lisan kita? Tentulah ada, sekalipun hanya sesekali, dan itu pastinya dahulu, saat kita hanya memahami keyakinan kita hanya sekedar ritual keseharian yang kita laksanakan sebagai tuntutan seorang yang memiliki keyakinan.

Namun, adakah sempat terpikirkan, bagaimana titian jalan keimanan yang sebenarnya? Adakah kita membuktikannya dengan akal kita? Ataukah hanya dengan perasaan kita saja?

Bahkan di dalam banyak ayat, Allah senantiasa mengakhiri kalamNya dengan kata-kata “…bagi orang-orang yang berakal”. Namun, pun terdapat juga ayat-ayat yang di sana menekankan kepada bagaimana sesuatu itu dirasa dengan hati kita, semisal dalam keyakinan itu sendiri kan harusnya diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dilaksanakan dalam sebuah perbuatan.

Maka, hendaknya ada keselarasan, keserasian dan penempatan-penempatan atasnya. Dan tentulah pasti, meletakkan keduanya di bawah sebuah kaidah baku yang hakiki, yaitu SyariatNya.

Karena sebagaimana yang kita pahami, menapaki sebuah jalan keimanan hanya dengan perasaan, sama saja dengan mengikatkan diri pada sebuah tali yang lemah, dan mudah putus. Tetapi berbeda dengan merentas jalan keimanan melalui proses berpikir, terlebih melalui kaidah berpikir yang cemerlang dan mendalam. Dalil aqli dan naqli yang menjadi pondasi mendasarnya.

Sehingga, haruslah tercipta suatu lingkaran yang kondusif untuk membangun pemikiran serta perasaan yang satu, dalam sebuah peraturan hidup yang satu pula, yaitu SyariatNya.

Opening Faza's Blog

Assalamu'alaikum!
~Ahlan wa sahlan~

Apa Kabarnya Hari ini?
"Alhamdulillah, Selalu Mencerahkan, Luar Biasa Sukses!"

~Allahu Akbar~