Jumat, 24 Juni 2011

kali ini saya akan membahas tentang fiqih wanita muslimah. yang pertama yaitu Hukum berpacaran …seperti biasa saya sadur dari internet..

Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.

I. Tujuan Pacaran

Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.

Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.

Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.

II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?

Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.

Sehingga kita juga sering mendengar istilah “chek-in”, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah.

Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang.

Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.

Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal.

Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.

III. Pacaran Dalam Pandangan Islam

a. Islam Mengakui Rasa CintaIslam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.

b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal

Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

c. Pacaran Bukan Cinta

Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung. Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan

Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.

Semoga ni menjadi renungan untuk ukhty semua…

Hukum Pacaran

kali ini saya akan membahas tentang fiqih wanita muslimah. yang pertama yaitu Hukum berpacaran …seperti biasa saya sadur dari internet..

Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.

I. Tujuan Pacaran

Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.

Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.

Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.

II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?

Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.

Sehingga kita juga sering mendengar istilah “chek-in”, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah.

Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang.

Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.

Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal.

Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.

III. Pacaran Dalam Pandangan Islam

a. Islam Mengakui Rasa CintaIslam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.

b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal

Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

c. Pacaran Bukan Cinta

Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung. Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan

Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.

Semoga ni menjadi renungan untuk ukhty semua…
kali ini saya akan membahas tentang fiqih wanita muslimah. yang pertama yaitu Hukum berpacaran …seperti biasa saya sadur dari internet..

Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.

I. Tujuan Pacaran

Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.

Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.

Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.

II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?

Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.

Sehingga kita juga sering mendengar istilah “chek-in”, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah.

Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang.

Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.

Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal.

Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.

III. Pacaran Dalam Pandangan Islam

a. Islam Mengakui Rasa CintaIslam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.

b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal

Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

c. Pacaran Bukan Cinta

Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung. Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan

Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.

Semoga ni menjadi renungan untuk ukhty semua…

Muhasabah

Sangat banyak umat Islam yang belum mengenal Islam. Bukan Islam Parsial, Fundamental, Radikal, apalagi Liberal. Namun Islam Kaffah, Islam menyeluruh.

Allah SWT, berfirman yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (TQS.Al Baqarah: 208)

Dan Islam kaffah hanya bisa terlaksana dibawah naungan Daulah Khilafah ala minhaj an-nubuwah. Dan Allah pasti menepati janjinya untuk membumikan kembali satu Agama yang diridhoinya.

Allah SWT, berfirman yang artinya:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (TQS.An nur: 55) (al khansa)

‘Iffah: Lambang Kemuliaan Seorang Wanita

Segala puji bagi Allah Ta’ala, Robb semesta alam. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad.

Akhwatifillah…
Di masa sekarang ini, di saat kejahiliahan kembali merata di seluruh penjuru dunia, upaya penjagaan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan, kesia-siaan, dan kerendahan harus lebih ditekankan. Terlebih lagi bagi seorang muslimah yang kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. ‘Iffah adalah bahasa yang lebih akrab untuk menyatakan penjagaan diri ini. Lalu apa sebenarnya ‘iffah itu?

Pengertian ‘Iffah

Wahai muslimah…
Menurut bahasa, ‘iffah artinya adalah menahan. Sedangkan menurut istilah, ‘iffah adalah menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.

Jadi, ‘afifah (sebutan bagi muslimah yang ‘iffah) adalah muslimah yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya menginginkannya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (An-Nur: 33).

Wanita yang ‘afifah

Saudariku…
‘Iffah adalah akhlaq yang tinggi, mulia, dan dicintai oleh Allah Ta’ala. Bahkan akhlaq ini merupakan sifat hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih, yang senantiasa memuji keagungan Allah Ta’ala, takut akan siksa, adzab, dan murka-Nya, serta selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.

Ada beberapa hal yang dapat menumbuhkan akhlaq ‘iffah dan perlu dilakukan oleh seorang muslimah untuk menjaga kehormatan dirinya, di antaranya adalah:



1. Ketaqwaan kepada Allah Ta’ala

Taqwa adalah asas paling fundamental dalam mengusahakan ‘iffah pada diri seseorang. Ketaqwaan adalah pengekang seseorang dari perbuatan-perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah Ta’ala, sehingga ia akan selalu berhati-hati dalam berbuat seseuatu, baik di saat sendirian maupun dalam keramaian.

Sesungguhnya kemuliaan yang diraih seorang wanita shalihah adalah karena kemampuannya dalam menjaga martabatnya (‘Iffah) dengan hijab serta iman dan taqwa. Ibarat sebuah bangunan, ia akan berdiri kokoh jika mempunyai pondasi yang kokoh. Andaikan pondasi sebuah bangunan tidak kokoh, maka seindah dan semegah apapun pasti akan cepat runtuh. Begitu juga dengan ‘iffah yang dimiliki oleh seorang wanita, dengan iman dan taqwa sebagai pondasi dasar untuk meraih kemuliaan-kemuliaan lain.

Segala anggota tubuh akan selalu terjaga jangan sampai melanggar larangan Allah Ta’ala sehingga terjerumus ke dalam kesesatan. Mulutnya terjaga dari pembicaraan yang sia-sia, ghibah, fitnah, adu domba, dusta, mengumpat , mencela, dan lain-lain. Tangannya pun akan terjaga dari hal yang dilarang seperti mencuri, bersentuhan dengan orang yang bukan mahramnya, dan lain-lain. Mata pun demikian, tak ingin terjerumus dalam mengumbar pandangan yang diharamkan.

Sungguh ketika taqwa berdiam pada diri seseorang, maka muncullah pribadi yang penuh dengan hiasan yang tak tertandingi keindahannya. Mengalahkan emas, perak, berlian, dan hiasan dunia lainnya.
2. Menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan

Saudariku muslimah….

Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’ ” (An-Nur: 31)

Asy-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari perbuatan zina, liwath (homoseksual), dan lesbian, serta menjaganya dengan tidak menampakkan dan menyingkapnya di hadapan manusia.” (Adhwa-ul Bayan, 6/186)
3. Tidak bepergian jauh (safar) sendirian tanpa didampingi mahramnya

Seorang wanita tidak boleh bepergian jauh tanpa didampingi mahramnya yang akan menjaga dan melindunginya dari gangguan. Rasulullah j bersabda: “Tidak boleh seorang wanita safar kecuali didampingi mahramnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Tidak berjabat tangan dengan lelaki yang bukan mahramnya

Bersentuhan dengan lawan jenis akan membangkitkan gejolak di dalam jiwa yang akan membuat hati condong kepada perbuatan yang keji dan hina.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata: “Secara mutlak tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, sama saja apakah wanita itu masih muda atau sudah tua. Dan sama saja apakah laki-laki yang berjabat tangan dengannya itu masih muda atau kakek tua. Karena berjabat tangan seperti ini akan menimbulkan fitnah bagi kedua pihak.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang Rasulullah j: “Tangan Rasulullah j tidak pernah menyentuh tangan wanita, kecuali tangan wanita yang dimilikinya (istri atau budak beliau).” (HR. Al-Bukhari)

“Tidak ada perbedaan antara jabat tangan yang dilakukan dengan memakai alas atau penghalang (kaos tangan atau kain) maupun tanpa penghalang. Karena dalil dalam masalah ini bersifat umum dan semua ini dalam rangka menutup jalan yang mengantarkan kepada fitnah.” (Majmu’ Al-Fatawa, I/185)


5. Tidak khalwat (berduaan) dengan laki-laki yang bukan mahram

Rasulullah j telah memerintahkan dalam sabdanya: “Tidak boleh sama sekali seorang lak-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila bersama wanita itu ada mahramnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
6. Nikah

Nikah adalah salah satu jalan terbaik untuk menjaga kesucian diri. Bahkan nikah adalah sarana utama untuk menumbuhkan sifat ‘iffah. Dengan menikah, seorang muslimah akan terjaga pandangan mata dan kehormatan dirinya. Nikah adalah fitrah kemanusiaan yang di dalamnya terdapat rasa cinta, kasih sayang, dan kedamaian yang tidak didapatkan dengan cara lain, seperi firman Allah Ta’ala: “Dan di antara tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang.” (Ar-Rum: 21)



7. Rasa Malu

Malu adalah sifat yang agung dan terpuji. Dengan rasa malu, seseorang akan terhindar dari perbuatan keji, tidak pantas, mengandung dosa dan kemaksiatan. Rasa malu akan bertambah indah jika melekat pada diri seorang muslimah. Dengan malu, seorang muslimah akan selalu nampak dalam fitrah kewanitaannya, tak mau mengumbar aurat tubuhnya, tak mau mengeraskan suara yang tak diperlukan di tengah kumpulan manusia, tidak tertawa lepas, dan lain-lain.

Rasa malu ini benar-benar akan menjadi penjaga yang baik bagi seorang muslimah. Ia akan menyedikitkan beraktivitas di luar rumah yang tanpa manfaat. Ia akan menjaga diri ketika berbicara dengan orang lain, terlebih laki-laki yang bukan mahram. Tentu hal ini akan lebih menjaga kehormatannya.



8. Menjauh dari hal-hal yang mengundang fitnah

Seorang muslimah yang cerdas haruslah memahami akibat yang ditimbulkan dari suatu perkara dan memahami cara-cara yang ditempuh orang-orang bodoh untuk menyesatkan dan menyimpangkannya. Sehingga ia akan menjauhkan diri dari mendengarkan musik, nyanyian, menonton film dan gambar yang mengumbar aurat, membeli majalah-majalah yang merusak dan tidak berfaedah, dan lain-lain. Ia juga tidak akan membuang hartanya untuk merobek kehormatan dirinya dan menghilangkan ‘iffah-nya. Karena kehormatan serta ‘iffah adalah sesuatu yang mahal dan sangat berharga.



Sebuah Penutup

Wahai ukhti muslimah…
‘Iffah adalah pondasi kemuliaan bagi seorang wanita shalihah. Sungguh mulia wanita shalihah. Di dunia, ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan. Jika ia wafat, Allah Ta’ala akan menjadikannya bidadari di surga. Kemuliaan wanita shalihah digambarkan oleh Rasulullah j dalam sabdanya: “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Jika ingin mendapatkan kemuliaan sebagai wanita shalihah, maka sesungguhnya kemuliaan itu hanya dapat diraih ketika ia memiliki kemampuan untuk menjaga martabatnya dengan iman, menerima semua karunia yang Allah Ta’ala berikan, menghijab dirinya dari kemaksiatan, menghiasi semua aktivitasnya dengan ibadah, dan memberikan yang terbaik bagi sesamanya. Seorang wanita yang mampu melakukan semua itu akan mulia di sisi Allah Ta’ala dan terhormat di hadapan manusia.
Memang usaha yang dilakukan untuk meraih ‘iffah bukanlah hal yang ringan. Diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh dan keistiqamahan yang stabil dengan meminta kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)
Wallahu Ta’ala a’lam bish-showab

Maroji’:
Asy-Syariah Vol I/No.11/1425 H/2004
js.ugm.ac.id/?p=51
homiket.wordpress.com/2007/05/31/iffah-lambang-kemuliaan-wanita/

Di cetak oleh Izzudin

Syariat Islam: Pilihan Akal Sehat

Wujud Kesadaran Islam, di samping mengandung hal-hal yang harus diimani (‘aqîdah, îmân), juga berisi hukum-hukum untuk mengatur kehidupan. Hukum-hukum ini dikenal dengan syariat.
Secara bahasa, syariat (asy-syarî’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-mâ’ li al istisqâ) atau jalan lurus (at-tharîq al-mustaqîm). Sedangkan menurut istilah syar’î, syariat itu bermakna: perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt. bagi hamba-hamba-Nya baik dalam persoalan ibadah, akhlak, muamalah, dan sistem kehidupan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Syariat Islam merupakan syariat Allah Yang Mahabijaksana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya, dirinya sendiri, dan sesama manusia. Jadi, setiap hukum yang digali dari sumber-sumber hukum Islam merupakan hukum syariat (al-ahkâm asy-syar’iyyah) atau biasa disebut syariat saja. Karenanya, syariat Islam meliputi berbagai macam hukum; mulai dari cara bersuci hingga mengatur masyarakat dan negara. Atas dasar ini, yang disebut syariat Islam bukanlah sekadar sanksi kriminal (hudûd) semata, melainkan seluruh hukum bagi semua aspek kehidupan.
Kita semua sadar, bahwa Indonesia masih berada dalam krisis multidimensional. Tentu, semua ini merupakan produk dari sistem hidup dan kehidupan yang selama ini diterapkan. Yaitu sistem kapitalisme-sekular dalam segala bidang. Karenanya, untuk keluar dari krisis ini, tidak bisa hanya dengan mengganti para pengelolanya saja sementara tetap membiarkan sistem yang selama ini berlaku terus berjalan.
Persoalannya adalah: sistem mana yang akan dipilih? Memilih sistem kapitalisme sama saja dengan mempertahankan kerusakan dan krisis. Sebab, krisis tidak hanya terjadi di Indonesia, AS, sebagai gembong kapitalisme juga mengalami hal yang serupa.
Sementara itu, pilihan sosialisme-komunisme bukanlah merupakan pilihan yang rasional. Alasannya, sistem tersebut telah hancur sekalipun baru berkuasa selama 74 tahun. Bila demikian, alternatif pilihan terakhir hanyalah Islam. Oleh karena itu, tuntutan penegakkan syariat Islam haruslah dilandasi dengan kesadaran terhadap krisis dan kepekaan terhadap solusi terbaiknya. Pilihan ini ditopang oleh bukti sejarah tentang kehandalan syariat Islam yang mengungguli berbagai persoalan lebih dari 12 abad.
Syariat Islam datang dalam rangka memecahkan masalah bagi kemaslahatan semua elemen masyarakat. Sekadar menyebut contoh, ketika Islam menetapkan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariat, maka sistem itu ditujukan untuk seluruh masyarakat tanpa memandang Muslim ataupun non-Muslim. Ketentuan syariat Islam mengenai larangan riba dan judi serta penggunaan mata uang dinar dan dirham akan menjadikan ekonomi masyarakat tumbuh secara nyata.
Penerapan Syariat Harus Total
Setiap Muslim dituntut secara syar’î untuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini. Di antaranya firman Allah Swt.:

Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Kata mâ yang terdapat pada ayat di atas berbentuk umum, artinya mencakup seluruh bentuk perintah dan larangan Allah.
Secara realitas, syariat Islam merupakan hukum Allah Swt. untuk menyelesaikan persoalan manusia. Syariat Islam harus dipandang sebagai solusi bagi masalah yang ada. Hal ini tergambar dari realitas hukum Islam itu sendiri. Bila hanya sebagian saja hukum Islam yang diterapkan, maka persoalan-persoalan yang dihadapi tidak akan tertanggulangi secara tuntas. Misalnya, untuk menjaga harta setiap individu masyarakat, Islam melarang pencurian. Dalam rangka meraih hal tersebut terdapat beberapa hukum yang saling berkaitan, antara lain:

Islam mewajibkan penguasa memberikan keterampilan kepada setiap warga negara hingga mereka dapat bekerja. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan gratis, termasuk kepada mereka yang menganggur atau anak jalanan. Dengan diterapkannya hal ini, maka tidak ada alasan bagi warga negara untuk tidak bekerja karena tidak memiliki skill.
Berkaitan dengan mereka yang mempunyai keahlian tetapi tidak mendapatkan pekerjaan, Islam mewajibkan penguasa menciptakan dan menyediakan lapangan kerja.
Dalam menyediakan lapangan kerja, penguasa wajib memberikan kesempatan yang sama. Karenanya, larangan monopoli wajib diterapkan.
Agar kesenjangan tidak terjadi, hukum tentang kepemilikan wajib diterapkan, yaitu:
kepemilikan umum (laut, sungai, BBM, listrik, barang tambang dsb) merupakan milik umum; tidak boleh diprivatisasi, harus dikelola oleh negara. Hasilnya diberikan gratis kepada masyarakat atau dijual kepada mereka dengan harga murah dan untungnya untuk kepentingan masyarakat.
kepemilikan negara. Negara menerapkan hukum I’tha` dawlah, yaitu negara memberikan sebagian hartanya kepada rakyatnya yang miskin dan betul-betul membutuhkan, atau mengeluarkan kebijakan pemberian pinjaman bagi pengusaha kecil tanpa dipungut biaya tambahan (ekonomi tanpa riba).
kepemilikan pribadi. Dengan kepemilikan pribadi, setiap orang dijamin kepemilikannya dari kejahatan pihak lain. Haknya juga dijaga dari perampasan oleh pihak lain.
Persoalan tanah sering menjadi sebuah persoalan besar. Karenanya, hukum menghidupkan tanah mati (ihyâ al-mawât) harus diterapkan. Mereka yang rajin membuka lahan mati akan mendapatkan kesempatan mempunyai tanah sekalipun tidak mempunyai uang.
Terhadap mereka yang lemah, cacat; menjadi janda, yatim, miskin, atau hal-hal lain yang menyebabkan tidak memungkinkannya mereka untuk bekerja, negara wajib memaksa ahli waris mereka yang mampu untuk membiayainya.
Bila mereka pada butir 6 tidak memiliki ahli waris yang mampu, penguasa wajib menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) mereka.
Selain pendidikan, kesehatan sebagai kebutuhan pokok pun wajib digratiskan oleh penguasa.
Untuk mendapatkan pemasukan dana bagi kebutuhan di atas, maka diterapkan:
Hukum zakat. Zakat dikelola negara. Yang tidak membayar zakat akan dikenai sanksi. Harta zakat disalurkan bagi mereka yang berhak, termasuk fakir/miskin.
Penerapan hukum-hukum perusahaan milik umum yang dikelola negara.
Hukum barang temuan, rikaz, jizyah, kharaj, dsb.
Untuk menghindari adanya kemudahan pencurian, diterapkan pengadilan keliling di tempat-tempat keramaian (qâdhî hisbah).
Bila mencuri lebih dari ¼ dinar selama bukan pada musim paceklik, dipotong tangan setelah melewati pembuktian.

Dari kasus di atas terlihat jelas bahwa untuk menghindarkan terjadinya pencurian setidaknya diperlukan penerapan 16 hukum syariat. Potong tangan hanyalah salah satunya. Karenanya, untuk memelihara kepemilikan individu masyarakat dari pencurian, harus diterapkan semua syariat Islam tersebut. Bila tidak, syariat Islam sebagai solusi bagi permasalahan kehidupan dan rahmat bagi seluruh manusia tidak akan terasa.
Demikian pula untuk menjaga akal, nyawa, keturunan, agama, dan sebagainya; diperlukan penerapan syariat Islam secara integral dalam hal-hal yang berkesesuaian. Sebab, antara satu hukum dengan hukum lainnya akan saling terkait. Ringkasnya, Islam akan dirasakan sebagai rahmatan lil ‘âlamîn bila seluruh syariat Islam diterapkan.
Menepis Keberatan
Hambatan-hambatan dalam menerapkan syariat Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kebencian orang-orang kafir, fasik, dan zalim terhadap syariat Islam. Kedua, kesalahan kaum Muslim dalam memahami syariat Islam. Akibatnya, muncullah ‘keberatan’ yang sebenarnya lebih merupakan pencerminan pada ketakberhasilannya dalam mengapresiasi ajaran Islam. Hambatan dari orang-orang kafir jelas bukan dalam kendali kaum Muslim. Karenanya, yang lebih penting adalah bagaimana menata kembali sikap kaum Muslim yang masih ‘miring’ terhadap syariat Islam, yang merupakan ajaran agama yang dianutnya.
Secara umum, kendala yang ada pada kaum Muslim dalam menerapkan syariat Islam, adalah lebih kepada masalah kekurangpahaman atau kebelumpahaman saja. Hal ini dapat dilihat dari ‘keberatan’ yang sering diungkapkan.
Di antara ‘keberatan’ itu adalah:

Islam itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya. Pendapat seperti ini bukan hanya berbahaya tetapi juga bertentangan dengan realitas. Pertama, tidak ada aturan yang diterapkan sekadar substansinya saja. Mengapa mereka begitu getol memperjuangkan sekularisme, demokrasi, dan berupaya mempertahankan formalitas sistem tersebut yang notabene warisan kolonial? Padahal, jika mereka konsisten dengan pendapatnya, semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja yang dituntutnya, dan substansi sekularisme saja yang diinginkannya?! Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kedua, dengan tidak diformalkannya syariat Islam berarti hanya akan menciptakan peluang untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main hakim sendiri.
Penduduk yang hidup di suatu negara bukan hanya Muslim, tetapi juga non-Muslim; tidak homogen tetapi heterogen. Pertama, dalih ini sebenarnya mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas masyarakat. Pada kenyataannya, hukum manapun yang diterapkan tidaklah diperuntukkan hanya bagi kalangan yang homogen saja. Contohnya, di Amerika tidak semua penduduknya Kristen, akan tetapi aturan yang diterapkannya adalah kapitalisme. Di Indonesia, terdapat 4 agama resmi yang diakui, tetapi hukum yang diterapkan juga kapitalisme atas dasar sekularisme. Di Cina, puluhan juta umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan aturan sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional menolak ditegakkannya syariat Islam dengan alasan heterogenitas penduduknya. Mereka sendiri tidak pernah melarang penerapan sistem kapitalisme meskipun tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak pernah juga berteriak tidak boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada homogen atau heterogen, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun agamanya) demi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat. Jawabannya, tentu saja Islam! Kedua, adanya ketidakpahaman terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu tidak hanya Muslim, tetapi juga Yahudi dan Nasrani. Pada Faktanya, lebih dari 10 abad syariat Islam bertahan. Ketiga, tidak adanya penghayatan bahwa syariat Islam itu adalah untuk kebaikan bersama. Sebagai contoh, ketika riba dilarang sebagai landasan perekonomian, hal ini tidaklah ditujukan hanya bagi kepentingan kaum Muslim, melainkan juga untuk kepentingan penduduk non-Muslim. Faktanya, akibat riba kini Indonesia dijerat utang luar negeri. Yang rugi? Semua penduduk, Muslim dan non-muslim.
Adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang akan diterapkan? Alasan ini pun terlihat ‘genit’. Sebab, dalam sistem manapun, sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak beragam pendapat tentang sistem republik, presidensil, atau parlementer. Bentuknya pun pro-kontra; apakah kesatuan, federalisme, ataukah kesatuan dengan otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda, apakah harus pemilihan langsung (seperti keyakinan J.J. Rousseu), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang, termasuk politik. Lalu, mengapa adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal politik dan sistem kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak ditegakkannya syariat Islam? Sebaliknya, mengapa untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan serupa?
Hukum Islam itu kejam, diskriminatif, dan ‘primitif’. Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal, jika kita mau berpikir, manakah sesungguhnya yang lebih baik, misalnya: apakah masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam ataukah masyarakat yang permisif dan kacau; yang di dalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif, hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba)? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Sebaliknya, yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (Lihat QS al-A’râf [7]: 179). Akan tetapi, anehnya, banyak masyarakat masih memandang bahwa masyarakat dan negara sekular-kapitalistik yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern (lebih tepat ‘sok modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan ‘primitif’. Mana yang lebih kejam, hukum yang memotong tangan pencuri yang betul-betul terbukti dalam pengadilan ataukah hukum yang memenjarakannya yang justru lebih mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan? Aturan mana yang lebih diskriminatif; apakah hukum yang memperlakukan semua orang secara adil ataukah hukum yang memenjarakan seorang pencuri sandal seharga Rp 4000 selama 4 bulan, sedangkan para perampok BLBI sebesar Rp 164 miliar bebas berkeliaran penuh percaya diri? Padahal, kalau tolok ukurnya pencurian sandal tersebut, seharusnya mereka dihukum 41.000.000 bulan atau 3.416.667 tahun!
Masyarakat tidak siap. Kita layak untuk bertanya, ketika di Indonesia diterapkan lebih dari 80% hukum Belanda (hingga sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum? Ketika aturan untuk menerapkan syariat Islam bagi Muslim Indonesia dihapus oleh PPKI, apakah rakyat ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu, saat diterapkan demokrasi terpimpin dan demokrasi parlementer, apakah rakyat ditanyai kesiapannya lebih dulu? Tidak! Lalu, mengapa alasan masyarakat tidak siap itu hanya ditujukan kepada Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap? Ataukah pihak yang tidak siap itu adalah hanya mereka yang kini memegang kekuasaan, duduk di kursi empuk, dan banyak kejahatannya hingga takut kezalimannya itu terbongkar bahkan diadili?

Itulah sebagian dalih yang diungkapkan untuk menolak syariat Islam. Namun, ternyata semuanya tidak sesuai dengan realitas alias mengada-ada. Berbagai dalih di atas hanya meneguhkan bahwa mereka tidak menggunakan akal sehat, tetapi sekadar karena dorongan hawa nafsu belaka. Wallahu’alam bishawab. (www.globalmuslim.web.id)

Syariat Islam Membersihkan Peradilan

Negara sebagai entitas eksekutif (kiyan tanfidzi) yang menjalankan sekumpulan pemahaman (mafahim’, standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qanaat) yang diterima oleh umat, jelas membutuhkan lembaga peradilan. Selain lembaga ini merupakan satu-satunya lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat (Ibn Farhun, Tabshirat al-Hukkam, Juz I/12), keberadaan lembaga ini juga merupakan thariqah syariyyah (metode syariah) untuk menjaga keberlangsungan

penerapan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) di tengah-tengah umat. Karena itu, keberadaan lembaga ini hukumnya wajib. Para fuqaha menyatakan, bahwa adanya peradilan ini hukumnya fardhu kifayah .(Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/34).

Islam telah mensyariatkan adanya tiga kategori peradilan, sesuai dengan obyek masing-masing yang hendak diadili, yaitu qadha’ khushumat, hisbah dan madzalim (al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 62-93 dan 285-308). Qadha’ khushumat (peradilan sengketa), yang mengadili sengketa di tengah masyarakat. Di sana ada pihak penuntut, yang menuntut haknya, dan terdakwa sebagai pihak yang dituntut. Peradilan ini membutuhkan mahkamah (ruang sidang). Sedangkan qadha’ hisbah, yang mengadili pelanggaran hukum syara’ di luar mahkamah, bukan karena tuntutan pihak penuntut, tetapi semata-mata karena pelanggaran. Seperti pelanggaran lalu lintas, parkir di jalan raya, penimbunan barang, penipuan harga (ghabn) dan barang (tadlis), dan lain-lain. Adapun qadha’madzalim,yang mengadili sengketa rakyat dengan negara, dan atau pe¬nyimpangan negara terhadap konsitusi dan hukum.

Ketiga kategori peradilan ini, masing-masing mempunyai hakim. Seluruh lembaga ini kemudian dipimpin oleh seorang Ketua Hakim, yang lazim disebut qadhi qudhat. Jabatan ketua hakim ini pertama kali dibentuk oleh Khalifah Harun Ar Rasyid, yang diserahkan kepada Qadhi Qudhat Abu Yusuf (182 H/798 M), mujtahid mazhab Hanafi, yang terkenal dengan karyanya, Al Kharaj (Dr. ‘Isham Muhammad Sabbaru, Qadhi A1Qudhat fi a1-Islam, hal. 9).

Karena kedudukannya yang penting dan strategis, maka Islam tidak hanya mengatur mekanisme peradilannya, tetapi juga membersihkan para pemangkunya dengan berbagai kriteria yang ekstra ketat. Selain kriteria Muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu dan adil (Al Kasani, Bada’i As Shana’i, Juz VII/2-4), untuk jabatan tertentu, seperti qadhi qudhat dan qadhi madzalim, misalnya, tidak boleh dijabat oleh perempuan, karena merupakan ba¬gian dari pemerintahan, dan atau bersentuhan langsung dengan pemerintahan. Bahkan, untuk qadhi madzalim harus mujtahid (Zallum, Nidzam Al Hukmi fi Al Islam). Selain itu, ada kriteria umum yang harus dimiliki oleh semua hakim, seperti tegas tetapi tidak kasar, lembut tetapi tidak lemah, cerdas, radar, tidak lengah dan tertipu ketika memutuskan, bersih hatinya, wara’, bijak, jauh dari sikap tamak, baik terhadap materi maupun jabatan. (Ibn Qudamah, A/Mughni, Juz IX/21).

Selain kriteria di atas, Islam juga menetapkan mekanisme yang jelas dalam pengangkatan qadhi. Karena qadhi ini adalah wakil khalifah, maka khalifahlah orang yang mengangkat qadhi (Al Mawardi, Adab Al Qadhi, Juz 1/137). Meski, bisa juga pengangkatan tersebut didelegasikan kepada qadhi qudhat (Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, Juz X/180). Dalam mengangkat mereka, baik khalifah maupun qadhi qudhat akan memilih orang yang layak dan tepat. Untuk mengetahui mereka, bisa bertanya kepada para ulama, bisa juga melalui fit and proper test, agar bisa mengetahui kelayakan dan keadilannya (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz IX/38).

Dalam menjalankan tugasnya, mereka tidak sendiri, tetapi bisa dibantu oleh para pembantu (a’Wan). Para pembantu qadhi ini ada dua. Pertama, mereka yang membantu qadhi dalam memberikan masukan, pandangan dan hukum. Mereka ini terdiri dari para fuqaha’, ulama dan orang-orang yang kredibel (ahl al-fadhl) (Al Mawardi, Adab Al Qadhi, Juz 1/261-265). Kedua, mereka yang membantu administrasi dan teknis, seperti sekretaris, panitera dan lain-lain (Ibnu Abi Ad Dam, Adab Al Qadhi, hal. 59-65). Dalam menjalankan tugasnya, Qadhi Qudhat-lah yang mengontrol mereka (As Samnani, Raudhatu Al Qudhat, Juz 1/120 dan 132). Sedangkan qadhi qudhat dan lembaga peradilannya diawasi dan dikontrol oleh Khalifah (Ibn Farhun, Tabshiratu Al Hukkam, Juz 1/77). Meskipun, dalam mengambil keputusan, kedudukannya tetap independen, sebagaimana yang terjadi pada Qadhi Suraikh dan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam kasus baju besi. Meski Khalifah, di pengadilan Ali kalah dari orangYahudi.

Agar dalam menjalankan tugasnya, qadhi tidak “masuk angin”, maka Islam telah menetapkan mekanisme yang tegas dan jelas terkait dengan profesi mereka. Pertama, Islam memberikan jabatan ini hanya kepada mereka yang layak dan ahli takwa, sebagaimana kriteria yang dijelaskan di atas. Kedua, Islam melarang mereka menyibukkan diri dalam aktivitas yang bisa melalaikan tugasnya, termasuk berbisnis dan sejenisnya (As Samnani, Raudhatu Al Qudhat, Juz 1/658). Ketiga, Islam juga melarang mereka menerima hadiah, hibah dan sejenisnya dari mereka yang mempunyai kepentingan dengan jabatannya. Keempat, Islam telah menetapkan gaji yang lebih dari cukup, sebagaimana yang ditetapkan Umar untuk para qadhinya, agar bisa konsentrasi pada tugasnya dan tidak tergoda dengan materi yang ditawarkan kepadanya (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz IX/37). Kelima, Islam menetapkan akhlak para qadhi, antara lain harus berwibawa, menjaga muru’ah (harga diri), tidak banyak berinteraksi dengan orang, senda gurau dengan mereka, menjaga ucapan dan tindak tanduknya (‘Abdul Karim Zaidan, Nidzom Al Qadha’, haI.55).

Selain ketentuan di atas, Islam juga menutup celah lahirnya para qadhi yang korup, melalui mekanisme peradilan yang fixed. Pertama, Islam menetapkan, bahwa keputusan peradilan bersifat mengikat (ilzam). Artinya, setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan harus dilaksanakan, tidak bisa digugat, apalagi diubah, hatta oleh qadhi yang sama. Pernah Umar membuat keputusan dalam satu kasus yang sama untuk orang yang berbeda dengan keputusan yang berbeda. Ketika, orang pertama yang diputuskan. merasa bahwa keputusan yang diterima orang kedua lebih baik, dia pun mengajukan kembali kasusnya, dan minta keputusan sebagaimana orang kedua, maka dengan tegas Umar menyatakan, “Itu adalah keputusan yang sudah aku putuskan sebelumnya, dan ini adalah keputusanku yang baru.” Artinya, keputusan baru tidak bisa mengubah keputusan lama. Dari sini, maka Islam tidak mengenal peradilan banding. Karena sifat dari setiap keputusan itu mengikat. Dengan tidak adanya peradilan banding, berarti kepastian hukum dalam Islam jelas terjamin. Kedua, setiap perkara yang diajukan ke mahkamah harus segera diputuskan, tidak boleh ditangguh-tangguhkan, sehingga tidak terjadi penumpukan kasus. Dengan kedua mekanisme ini, maka siapapun yang berkepentingan di pengadilan tidak akan merasa dipimpong. Di sisi lain, celah orang untuk menyuap agar kasusnya segera diselesaikan juga tertutup. Karena selain penyuap-nya tidak ada, qadhi yang disuap pun tidak bisa.

Namun, jika seluruh kriteria, mekanisme dan pintu di atas telah ditutup, tetapi praktik suap masih juga terjadi, maka hanya sanksi yang keras dan tegaslah yang bisa menghentikan mereka. Karena itu, Islam pun menetapkan sanksi ta’zir kepada mereka yang melakukan suap; baik penyuap (ar-rasyl), penerima suap (al-murtasyi) maupun perantara (ar-rais bainahuma)-nya. Rasul dengan tegas menyatakan, “Allah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara tindak suap-menyuap.” (HR. Imam Tirmidzi). (www.globalmuslim.web.id)
Negara sebagai entitas eksekutif (kiyan tanfidzi) yang menjalankan sekumpulan pemahaman (mafahim’, standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qanaat) yang diterima oleh umat, jelas membutuhkan lembaga peradilan. Selain lembaga ini merupakan satu-satunya lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat (Ibn Farhun, Tabshirat al-Hukkam, Juz I/12), keberadaan lembaga ini juga merupakan thariqah syariyyah (metode syariah) untuk menjaga keberlangsungan

penerapan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) di tengah-tengah umat. Karena itu, keberadaan lembaga ini hukumnya wajib. Para fuqaha menyatakan, bahwa adanya peradilan ini hukumnya fardhu kifayah .(Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/34).

Islam telah mensyariatkan adanya tiga kategori peradilan, sesuai dengan obyek masing-masing yang hendak diadili, yaitu qadha’ khushumat, hisbah dan madzalim (al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 62-93 dan 285-308). Qadha’ khushumat (peradilan sengketa), yang mengadili sengketa di tengah masyarakat. Di sana ada pihak penuntut, yang menuntut haknya, dan terdakwa sebagai pihak yang dituntut. Peradilan ini membutuhkan mahkamah (ruang sidang). Sedangkan qadha’ hisbah, yang mengadili pelanggaran hukum syara’ di luar mahkamah, bukan karena tuntutan pihak penuntut, tetapi semata-mata karena pelanggaran. Seperti pelanggaran lalu lintas, parkir di jalan raya, penimbunan barang, penipuan harga (ghabn) dan barang (tadlis), dan lain-lain. Adapun qadha’madzalim,yang mengadili sengketa rakyat dengan negara, dan atau pe¬nyimpangan negara terhadap konsitusi dan hukum.

Ketiga kategori peradilan ini, masing-masing mempunyai hakim. Seluruh lembaga ini kemudian dipimpin oleh seorang Ketua Hakim, yang lazim disebut qadhi qudhat. Jabatan ketua hakim ini pertama kali dibentuk oleh Khalifah Harun Ar Rasyid, yang diserahkan kepada Qadhi Qudhat Abu Yusuf (182 H/798 M), mujtahid mazhab Hanafi, yang terkenal dengan karyanya, Al Kharaj (Dr. ‘Isham Muhammad Sabbaru, Qadhi A1Qudhat fi a1-Islam, hal. 9).

Karena kedudukannya yang penting dan strategis, maka Islam tidak hanya mengatur mekanisme peradilannya, tetapi juga membersihkan para pemangkunya dengan berbagai kriteria yang ekstra ketat. Selain kriteria Muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu dan adil (Al Kasani, Bada’i As Shana’i, Juz VII/2-4), untuk jabatan tertentu, seperti qadhi qudhat dan qadhi madzalim, misalnya, tidak boleh dijabat oleh perempuan, karena merupakan ba¬gian dari pemerintahan, dan atau bersentuhan langsung dengan pemerintahan. Bahkan, untuk qadhi madzalim harus mujtahid (Zallum, Nidzam Al Hukmi fi Al Islam). Selain itu, ada kriteria umum yang harus dimiliki oleh semua hakim, seperti tegas tetapi tidak kasar, lembut tetapi tidak lemah, cerdas, radar, tidak lengah dan tertipu ketika memutuskan, bersih hatinya, wara’, bijak, jauh dari sikap tamak, baik terhadap materi maupun jabatan. (Ibn Qudamah, A/Mughni, Juz IX/21).

Selain kriteria di atas, Islam juga menetapkan mekanisme yang jelas dalam pengangkatan qadhi. Karena qadhi ini adalah wakil khalifah, maka khalifahlah orang yang mengangkat qadhi (Al Mawardi, Adab Al Qadhi, Juz 1/137). Meski, bisa juga pengangkatan tersebut didelegasikan kepada qadhi qudhat (Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, Juz X/180). Dalam mengangkat mereka, baik khalifah maupun qadhi qudhat akan memilih orang yang layak dan tepat. Untuk mengetahui mereka, bisa bertanya kepada para ulama, bisa juga melalui fit and proper test, agar bisa mengetahui kelayakan dan keadilannya (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz IX/38).

Dalam menjalankan tugasnya, mereka tidak sendiri, tetapi bisa dibantu oleh para pembantu (a’Wan). Para pembantu qadhi ini ada dua. Pertama, mereka yang membantu qadhi dalam memberikan masukan, pandangan dan hukum. Mereka ini terdiri dari para fuqaha’, ulama dan orang-orang yang kredibel (ahl al-fadhl) (Al Mawardi, Adab Al Qadhi, Juz 1/261-265). Kedua, mereka yang membantu administrasi dan teknis, seperti sekretaris, panitera dan lain-lain (Ibnu Abi Ad Dam, Adab Al Qadhi, hal. 59-65). Dalam menjalankan tugasnya, Qadhi Qudhat-lah yang mengontrol mereka (As Samnani, Raudhatu Al Qudhat, Juz 1/120 dan 132). Sedangkan qadhi qudhat dan lembaga peradilannya diawasi dan dikontrol oleh Khalifah (Ibn Farhun, Tabshiratu Al Hukkam, Juz 1/77). Meskipun, dalam mengambil keputusan, kedudukannya tetap independen, sebagaimana yang terjadi pada Qadhi Suraikh dan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam kasus baju besi. Meski Khalifah, di pengadilan Ali kalah dari orangYahudi.

Agar dalam menjalankan tugasnya, qadhi tidak “masuk angin”, maka Islam telah menetapkan mekanisme yang tegas dan jelas terkait dengan profesi mereka. Pertama, Islam memberikan jabatan ini hanya kepada mereka yang layak dan ahli takwa, sebagaimana kriteria yang dijelaskan di atas. Kedua, Islam melarang mereka menyibukkan diri dalam aktivitas yang bisa melalaikan tugasnya, termasuk berbisnis dan sejenisnya (As Samnani, Raudhatu Al Qudhat, Juz 1/658). Ketiga, Islam juga melarang mereka menerima hadiah, hibah dan sejenisnya dari mereka yang mempunyai kepentingan dengan jabatannya. Keempat, Islam telah menetapkan gaji yang lebih dari cukup, sebagaimana yang ditetapkan Umar untuk para qadhinya, agar bisa konsentrasi pada tugasnya dan tidak tergoda dengan materi yang ditawarkan kepadanya (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz IX/37). Kelima, Islam menetapkan akhlak para qadhi, antara lain harus berwibawa, menjaga muru’ah (harga diri), tidak banyak berinteraksi dengan orang, senda gurau dengan mereka, menjaga ucapan dan tindak tanduknya (‘Abdul Karim Zaidan, Nidzom Al Qadha’, haI.55).

Selain ketentuan di atas, Islam juga menutup celah lahirnya para qadhi yang korup, melalui mekanisme peradilan yang fixed. Pertama, Islam menetapkan, bahwa keputusan peradilan bersifat mengikat (ilzam). Artinya, setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan harus dilaksanakan, tidak bisa digugat, apalagi diubah, hatta oleh qadhi yang sama. Pernah Umar membuat keputusan dalam satu kasus yang sama untuk orang yang berbeda dengan keputusan yang berbeda. Ketika, orang pertama yang diputuskan. merasa bahwa keputusan yang diterima orang kedua lebih baik, dia pun mengajukan kembali kasusnya, dan minta keputusan sebagaimana orang kedua, maka dengan tegas Umar menyatakan, “Itu adalah keputusan yang sudah aku putuskan sebelumnya, dan ini adalah keputusanku yang baru.” Artinya, keputusan baru tidak bisa mengubah keputusan lama. Dari sini, maka Islam tidak mengenal peradilan banding. Karena sifat dari setiap keputusan itu mengikat. Dengan tidak adanya peradilan banding, berarti kepastian hukum dalam Islam jelas terjamin. Kedua, setiap perkara yang diajukan ke mahkamah harus segera diputuskan, tidak boleh ditangguh-tangguhkan, sehingga tidak terjadi penumpukan kasus. Dengan kedua mekanisme ini, maka siapapun yang berkepentingan di pengadilan tidak akan merasa dipimpong. Di sisi lain, celah orang untuk menyuap agar kasusnya segera diselesaikan juga tertutup. Karena selain penyuap-nya tidak ada, qadhi yang disuap pun tidak bisa.

Namun, jika seluruh kriteria, mekanisme dan pintu di atas telah ditutup, tetapi praktik suap masih juga terjadi, maka hanya sanksi yang keras dan tegaslah yang bisa menghentikan mereka. Karena itu, Islam pun menetapkan sanksi ta’zir kepada mereka yang melakukan suap; baik penyuap (ar-rasyl), penerima suap (al-murtasyi) maupun perantara (ar-rais bainahuma)-nya. Rasul dengan tegas menyatakan, “Allah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara tindak suap-menyuap.” (HR. Imam Tirmidzi). (www.globalmuslim.web.id)

"Istighfar"

Ya Allah,

engkau beri kami mata, tapi kami sering gunakan untuk melihat yang tidak pantas kami lihat;

kami tidak menggunakannya untuk membaca ayat-ayat-Mu

enkau beri kami telinga, tapi kami sering gunakan untuk mendengar kata sia-sia;

kami tidak menggunakannya untuk mendengar nasehat

engkau beri kami lidah, tapi kami sering gunakan untuk berbohong dan menggunjing;

kami tidak menggunakannya untuk berdakwah, saling menasehati dalam kebenaran

engkau beri kami tangan, tapi kami sering gunakan untuk menzalimi orang dan menzalimi kami sendiri;

kami tidak menggunakannya untuk menyingkirkan kemungkaran

engkau beri kami kaki, tapi kami sering gunakan untuk melangkah menuju tempat maksiat;

kami tidak menggunakannya untuk pergi berjihad

engkau beri kami akal, tapi akal itu jarang kami gunakan untuk memikirkan bagaimana berhukum dengan syari'atmu, akal kami yang liar justru sering memakainya untuk memikirkan hal-hal yang kotor dan licik

Ya Allah, andaikata engkau cabut itu semua?

Kalau engkau cabut mata ini, bagaimana kami bisa melihat indahnya dunia?

Kalau engkau cabut telinga ini, tentu bagi kami dunia ini akan sunyi tanpa nada dan irama?

Kalau engkau cabut lidah ini, tentu kami tak sanggup teriak minta tolong di kala ada marabahaya.

Kalau engkau cabut tangan kami, bagaimana akan menangkis serangan yang menghujam dada

Kalau engkau cabut kaki kami, kemana kami akan berlari ketika bencana melanda

Dan kalau engkau cabut akal kami, kami tak tahu apakah kami ini binatang atau manusia



Ya Allah

Engkau beri kami usia hingga setua ini, tapi kami sering lalai hingga usia itu berlalu percuma

Nafas demi nafas engkau berikan, tapi tidak menjadi amal apapun jua

Sehat lebih menyertai hari-hari kami, tapi tidak membuat kami ringan untuk berjihad

Cahaya mataharimu menerangi kami setiap hari, tapi kami justru mencari kegelapan

Bumi yang kau sediakan untuk berpijak, sering kami injak-injak dengan penuh kesombongan

Langit yang kau ciptakan sebagai atap, jarang mengingatkan kami kepada keagunganMu, padahal kami tidak pernah akan sanggup mengungkap rahasianya

Ya Allah, kami sungguh ngeri

bila detik-demi-detik yang telah Kau berikan, di akherat nanti menuntut mengapa dia kami sia-siakan

bila setiap molekul oksigen-Mu yang pernah kami hirup dengan cuma-cuma,

di hari kiamat nanti menuntut kami mengapa dia kami gunakan untuk maksiat kepada-Mu ya Allah

bila kesehatan kami akan meringankan timbangan amal kami,

karena selama kami di dunia kami anggap ringan sehat pemberian-Mu ini ya Allah

bila cahaya matahari-Mu membakar kami di padang mahsyar,

karena cahayanya yang ramah setiap pagi tidak menjadikan- kami mengingat kasih sayang-Mu

bila bumi yang perkasa menghimpit kami di alam kubur,

karena selama di dunia kami dengan congkak berjalan di punggungnya

bila langit yang agung menimpa kami di hari kiamat,

karena kami lupa keangungan penciptanya.

Ya Allah

Orang tua sangat menyayangi kami, tapi kami hampir tak pernah membalas budi mereka

Saudara dan kerabat menjaga kami sejak kecil, tapi kami lama tidak bertutur sapa dengan mereka

Tetangga menjaga rumah kami kalau kami pergi, tapi kami jarang peduli dengan kesulitan mereka

Teman sejawat selalu membantu, tapi kami hanya ingat padanya ketika kami butuh lagi pertolongan mereka

Pasangan hidup mendampingi kami di kala suka dan duka, tapi kami sering berkhayal pada orang selain dia

Anak-anak kami adalah harapan kami kelak,

tapi kami tidak memperkenalkan mereka pada Tuhan dan Rasul Teladan mereka

Ya Allah, Bila engkau cabut nikmat ini,

Andaikata dulu ibu kami mengaborsi kami,

lewat siapa lagi kami harapkan curahan Kasihmu ya Allah?

Andaikata kerabat kami memusuhi kami,

lewat siapa lagi kami harapkan Kau menanggung kami ya Allah?

Andaikata tetangga kami tak lagi peduli pada kami,

lewat siapa lagi kami harapkan Kau jaga rumah dan keluarga kami ya Allah?

Andaikata teman sejawat kami mengucilkan kami,

lewat siapa lagi kami harapkan Kau beri kesempatan kami maju ya Allah?

Andaikata pasangan hidup kami selingkuh di belakang kami,

lewat siapa lagi kami harapkan cinta-Mu ya Allah?

Andaikata anak-anak kami semua durhaka melawan kami,

lewat siapa lagi kami harapkan kebahagiaan dalam hidup kami dariMu ya Allah?

Oh Ya Allah, Ampunilah kami ya Allah,

selama ini kami tak juga mensyukuri nikmat yang begitu besar ini ya Allah.

Ya Allah

Engkau telah beri kami nikmat yang tak terhingga

Engkau mengeluarkan kami dari rahim ibu kami tanpa membawa apa-apa

Namun kini kadang-kadang ada makanan yang lezat terhidang di hadapan kami

ada pakaian yang bagus menghiasi tubuh kami

ada rumah tempat kami berlindung dari hujan dan terik matahari

kami mudah menggunakan kendaraan ke tempat yang kami mau

ada sejumlah uang di dompet atau rekening kami

Dan ada pula sedikit banyak penghormatan yang disematkan orang pada kami

Tapi mengapa kami masih suka mengeluh ya Allah, seakan nikmatMu tiada cukup

Mengapa selama ini kami tak pandai mensyukurinya ya Allah?

Makanan lezat itu tidak membuat tubuh kami makin giat beribadah

Pakaian bagus itu tidak membuat kami tergerak untuk menghias jalan-Mu

Rumah megah itu tidak bercahaya oleh bacaan Qur'an dan Majlis orang-orang shaleh

Kendaraan itu tidak membawa kami ke majlis ilmu maupun ladang-ladang jihad

Uang yang banyak itu belum menjadi manfaat bagi kaum dhuafa atau anak-anak yatim

Apalagi kehormatan ini, orang bertanya siapa yang telah mereguk manfaatnya

Ya Allah

Padahal mudah sekali bagiMu untuk meminta kembali apa yang Engkau titipkan

Kau bisa kirim bakteri, sehingga makanan ini jadi berbahaya bagi manusia

Kau bisa kirim jamur sehingga pakaian ini menjadi kusam dan busuk baunya

Kau bisa kirim api, sehingga rumah ini terbakar sempurna

Kau bisa kirim bencana, sehingga kendaraan itu rusak binasa

Kau bisa kirim banyak masalah, sehingga uang yang banyak itu ludes seketika

Kau bisa buka aib kami pada manusia, sehingga dari kehormatan itu justru malu yang ada

Ya Allah, Engkau begitu menyayangi kami, sungguh kami manusia yang durhaka

Ya Allah

Kau curahkan ilmu kepada kami, tetapi ilmu itu belum banyak kami amalkan dan kami gunakan untuk membawa manusia agar selalu ingat kepada-Mu

Kau mudahkan kami sholat, tetapi sholat itu belum membuat kami mampu mencegah perbuatan yang keji dan mungkar; pula sholat kami jauh dari khusyu'

Kau mudahkan kami puasa, tetapi puasa kami belum membuat kami mencintai orang-orang yang lapar dan dahaga bertahun-tahun lamanya

Kau mudahkan kami shodaqoh, tetapi masih terselip perasaan riya' di dada

Kau mudahkan kami berzikir, tetapi zikir kami sebatas di masjid dan rumah-rumah saja

Sungguh malu kami menghadapMu ya Allah, apalagi memohon sesuatu kepadaMu

Tapi bila tidak kepadaMu, kepada siapa lagi kami harus memohon?

Kabulkanlah permohonan kami yang hina berikut ini ya Allah



Duhai Allah

Jadikanlah mata ini penglihatanMu ya Allah, agar ia hanya melihat hal-hal yang halal dilihatnya

Jadikanlah telinga ini pendengaranMu ya Allah, agar ia hanya mendengar hal-hal yang halal didengarnya

Jadikanlah lidah ini gaung wahyuMu, agar manusia hanya merasakan kedamaian dan cinta dariMu

Jadikanlah tangan ini perpanjangan Kasih SayangMu ya Allah,

Perjalankanlah kaki ini ke tempat-tempat yang Engkau ridha

Dan selimuti akal ini selalu dalam cahaya kebijaksanaanMu – wahai Al-Hakim



Duhai Allah

Jadikanlah agar ilmu yang Kau bagi pada kami, bermanfaat dan menyelamatkan kami di dunia dan di akherat

Jadikanlah agar harta yang Kau titipkan pada kami, selalu barokah bagi manusia, terutama kaum dhuafa

Jadikanlah agar jabatan yang Kau amanahkan pada kami, senantiasa kami gunakan untuk melayani ummat, melindungi yang lemah dan tertindas, dengan menerapkan syari’atMu

Jadikanlah keluarga kami keluarga yang penuh cinta, sakinah-mawaddah wa rahmah

Jadikanlah anak-anak kami anak-anak sholeh, yang doanya akan menerangi kubur-kubur kami

Jadikanlah makanan yang kami makan energi ibadah kami

Jadikanlah pakaian yang kami pakai, manifestasi ketaqwaaan kami



Duhai Allah

Berilah pada mereka yang kesempitan, hati dan dunia yang lapang

Berilah pada mereka yang sakit, kesembuhan dan sehat yang tidak melenakan

Berilah pada mereka yang miskin, kekayaan yang tidak melalaikan

Berilah pada mereka yang tertindas, kemerdekaan yang tidak memperdayakan

Berilah pada mereka yang sendirian, jodoh-jodoh yang kepadaMu akan saling mendekatkan



Duhai Allah

Berilah hidayah pada para pemimpin kami, agar mereka mengurus dan melayani kami dengan syariatMu yang penuh berkah, dan jadilahkan kami bersatu dalam menerapkan syariatMu ya Allah

Kami rindu dengan Rasulullah, dengan Khulafaur Rasyidin, dengan para Khalifah,



dengan keadilan, kemakmuran dan keberkahan yang diciptakan oleh penerapan SyariahMu,

dengan keberanian Thariq bin Ziyad ketika membakar kapalnya untuk menghapus keraguan pasukannya

dengan kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz sehingga rakyat tak ada lagi yang pantas menerima zakat

dengan kejeniusan Harun ar-Rasyid ketika membangun pusat-pusat ilmu pengetahuan di Baghdad

dengan ketegasan al-Mu’tashim Billah yang menyerbu Romawi untuk membela kehormatan seorang muslimah

dengan kemuliaan jihad Salahuddin al-Ayubi ketika memperlakukan Richard Lion Heart yang terluka

dengan keyakinan Muhammad al-Fatih ketika masuk Konstantinopel untuk memenuhi nubuwah Rasul

dengan ketegasan Sultan Abdul Hamid ketika menolak tawaran-tawaran zionis di Palestina

Berilah kami nikmat sebagaimana Engkau telah beri nikmat kepada mereka ya Allah

Kami yakin bahwa RasulMu benar, Khilafah ala minhajin Nubuwwah akan datang lagi,



Berilah kesempatan kami untuk menyaksikan kebesaranMu itu ya Allah,

dan berilah kami kekuatan dan kesabaran untuk menyumbangkan harta dan jiwa kami dalam perjuangan itu.

Amien ya Rabbal Alamien



Sumber :



http://famhar.multiply.com/journal/item/79

"Istighfar"

Ya Allah,

engkau beri kami mata, tapi kami sering gunakan untuk melihat yang tidak pantas kami lihat;

kami tidak menggunakannya untuk membaca ayat-ayat-Mu

enkau beri kami telinga, tapi kami sering gunakan untuk mendengar kata sia-sia;

kami tidak menggunakannya untuk mendengar nasehat

engkau beri kami lidah, tapi kami sering gunakan untuk berbohong dan menggunjing;

kami tidak menggunakannya untuk berdakwah, saling menasehati dalam kebenaran

engkau beri kami tangan, tapi kami sering gunakan untuk menzalimi orang dan menzalimi kami sendiri;

kami tidak menggunakannya untuk menyingkirkan kemungkaran

engkau beri kami kaki, tapi kami sering gunakan untuk melangkah menuju tempat maksiat;

kami tidak menggunakannya untuk pergi berjihad

engkau beri kami akal, tapi akal itu jarang kami gunakan untuk memikirkan bagaimana berhukum dengan syari'atmu, akal kami yang liar justru sering memakainya untuk memikirkan hal-hal yang kotor dan licik

Ya Allah, andaikata engkau cabut itu semua?

Kalau engkau cabut mata ini, bagaimana kami bisa melihat indahnya dunia?

Kalau engkau cabut telinga ini, tentu bagi kami dunia ini akan sunyi tanpa nada dan irama?

Kalau engkau cabut lidah ini, tentu kami tak sanggup teriak minta tolong di kala ada marabahaya.

Kalau engkau cabut tangan kami, bagaimana akan menangkis serangan yang menghujam dada

Kalau engkau cabut kaki kami, kemana kami akan berlari ketika bencana melanda

Dan kalau engkau cabut akal kami, kami tak tahu apakah kami ini binatang atau manusia



Ya Allah

Engkau beri kami usia hingga setua ini, tapi kami sering lalai hingga usia itu berlalu percuma

Nafas demi nafas engkau berikan, tapi tidak menjadi amal apapun jua

Sehat lebih menyertai hari-hari kami, tapi tidak membuat kami ringan untuk berjihad

Cahaya mataharimu menerangi kami setiap hari, tapi kami justru mencari kegelapan

Bumi yang kau sediakan untuk berpijak, sering kami injak-injak dengan penuh kesombongan

Langit yang kau ciptakan sebagai atap, jarang mengingatkan kami kepada keagunganMu, padahal kami tidak pernah akan sanggup mengungkap rahasianya

Ya Allah, kami sungguh ngeri

bila detik-demi-detik yang telah Kau berikan, di akherat nanti menuntut mengapa dia kami sia-siakan

bila setiap molekul oksigen-Mu yang pernah kami hirup dengan cuma-cuma,

di hari kiamat nanti menuntut kami mengapa dia kami gunakan untuk maksiat kepada-Mu ya Allah

bila kesehatan kami akan meringankan timbangan amal kami,

karena selama kami di dunia kami anggap ringan sehat pemberian-Mu ini ya Allah

bila cahaya matahari-Mu membakar kami di padang mahsyar,

karena cahayanya yang ramah setiap pagi tidak menjadikan- kami mengingat kasih sayang-Mu

bila bumi yang perkasa menghimpit kami di alam kubur,

karena selama di dunia kami dengan congkak berjalan di punggungnya

bila langit yang agung menimpa kami di hari kiamat,

karena kami lupa keangungan penciptanya.

Ya Allah

Orang tua sangat menyayangi kami, tapi kami hampir tak pernah membalas budi mereka

Saudara dan kerabat menjaga kami sejak kecil, tapi kami lama tidak bertutur sapa dengan mereka

Tetangga menjaga rumah kami kalau kami pergi, tapi kami jarang peduli dengan kesulitan mereka

Teman sejawat selalu membantu, tapi kami hanya ingat padanya ketika kami butuh lagi pertolongan mereka

Pasangan hidup mendampingi kami di kala suka dan duka, tapi kami sering berkhayal pada orang selain dia

Anak-anak kami adalah harapan kami kelak,

tapi kami tidak memperkenalkan mereka pada Tuhan dan Rasul Teladan mereka

Ya Allah, Bila engkau cabut nikmat ini,

Andaikata dulu ibu kami mengaborsi kami,

lewat siapa lagi kami harapkan curahan Kasihmu ya Allah?

Andaikata kerabat kami memusuhi kami,

lewat siapa lagi kami harapkan Kau menanggung kami ya Allah?

Andaikata tetangga kami tak lagi peduli pada kami,

lewat siapa lagi kami harapkan Kau jaga rumah dan keluarga kami ya Allah?

Andaikata teman sejawat kami mengucilkan kami,

lewat siapa lagi kami harapkan Kau beri kesempatan kami maju ya Allah?

Andaikata pasangan hidup kami selingkuh di belakang kami,

lewat siapa lagi kami harapkan cinta-Mu ya Allah?

Andaikata anak-anak kami semua durhaka melawan kami,

lewat siapa lagi kami harapkan kebahagiaan dalam hidup kami dariMu ya Allah?

Oh Ya Allah, Ampunilah kami ya Allah,

selama ini kami tak juga mensyukuri nikmat yang begitu besar ini ya Allah.

Ya Allah

Engkau telah beri kami nikmat yang tak terhingga

Engkau mengeluarkan kami dari rahim ibu kami tanpa membawa apa-apa

Namun kini kadang-kadang ada makanan yang lezat terhidang di hadapan kami

ada pakaian yang bagus menghiasi tubuh kami

ada rumah tempat kami berlindung dari hujan dan terik matahari

kami mudah menggunakan kendaraan ke tempat yang kami mau

ada sejumlah uang di dompet atau rekening kami

Dan ada pula sedikit banyak penghormatan yang disematkan orang pada kami

Tapi mengapa kami masih suka mengeluh ya Allah, seakan nikmatMu tiada cukup

Mengapa selama ini kami tak pandai mensyukurinya ya Allah?

Makanan lezat itu tidak membuat tubuh kami makin giat beribadah

Pakaian bagus itu tidak membuat kami tergerak untuk menghias jalan-Mu

Rumah megah itu tidak bercahaya oleh bacaan Qur'an dan Majlis orang-orang shaleh

Kendaraan itu tidak membawa kami ke majlis ilmu maupun ladang-ladang jihad

Uang yang banyak itu belum menjadi manfaat bagi kaum dhuafa atau anak-anak yatim

Apalagi kehormatan ini, orang bertanya siapa yang telah mereguk manfaatnya

Ya Allah

Padahal mudah sekali bagiMu untuk meminta kembali apa yang Engkau titipkan

Kau bisa kirim bakteri, sehingga makanan ini jadi berbahaya bagi manusia

Kau bisa kirim jamur sehingga pakaian ini menjadi kusam dan busuk baunya

Kau bisa kirim api, sehingga rumah ini terbakar sempurna

Kau bisa kirim bencana, sehingga kendaraan itu rusak binasa

Kau bisa kirim banyak masalah, sehingga uang yang banyak itu ludes seketika

Kau bisa buka aib kami pada manusia, sehingga dari kehormatan itu justru malu yang ada

Ya Allah, Engkau begitu menyayangi kami, sungguh kami manusia yang durhaka

Ya Allah

Kau curahkan ilmu kepada kami, tetapi ilmu itu belum banyak kami amalkan dan kami gunakan untuk membawa manusia agar selalu ingat kepada-Mu

Kau mudahkan kami sholat, tetapi sholat itu belum membuat kami mampu mencegah perbuatan yang keji dan mungkar; pula sholat kami jauh dari khusyu'

Kau mudahkan kami puasa, tetapi puasa kami belum membuat kami mencintai orang-orang yang lapar dan dahaga bertahun-tahun lamanya

Kau mudahkan kami shodaqoh, tetapi masih terselip perasaan riya' di dada

Kau mudahkan kami berzikir, tetapi zikir kami sebatas di masjid dan rumah-rumah saja

Sungguh malu kami menghadapMu ya Allah, apalagi memohon sesuatu kepadaMu

Tapi bila tidak kepadaMu, kepada siapa lagi kami harus memohon?

Kabulkanlah permohonan kami yang hina berikut ini ya Allah



Duhai Allah

Jadikanlah mata ini penglihatanMu ya Allah, agar ia hanya melihat hal-hal yang halal dilihatnya

Jadikanlah telinga ini pendengaranMu ya Allah, agar ia hanya mendengar hal-hal yang halal didengarnya

Jadikanlah lidah ini gaung wahyuMu, agar manusia hanya merasakan kedamaian dan cinta dariMu

Jadikanlah tangan ini perpanjangan Kasih SayangMu ya Allah,

Perjalankanlah kaki ini ke tempat-tempat yang Engkau ridha

Dan selimuti akal ini selalu dalam cahaya kebijaksanaanMu – wahai Al-Hakim



Duhai Allah

Jadikanlah agar ilmu yang Kau bagi pada kami, bermanfaat dan menyelamatkan kami di dunia dan di akherat

Jadikanlah agar harta yang Kau titipkan pada kami, selalu barokah bagi manusia, terutama kaum dhuafa

Jadikanlah agar jabatan yang Kau amanahkan pada kami, senantiasa kami gunakan untuk melayani ummat, melindungi yang lemah dan tertindas, dengan menerapkan syari’atMu

Jadikanlah keluarga kami keluarga yang penuh cinta, sakinah-mawaddah wa rahmah

Jadikanlah anak-anak kami anak-anak sholeh, yang doanya akan menerangi kubur-kubur kami

Jadikanlah makanan yang kami makan energi ibadah kami

Jadikanlah pakaian yang kami pakai, manifestasi ketaqwaaan kami



Duhai Allah

Berilah pada mereka yang kesempitan, hati dan dunia yang lapang

Berilah pada mereka yang sakit, kesembuhan dan sehat yang tidak melenakan

Berilah pada mereka yang miskin, kekayaan yang tidak melalaikan

Berilah pada mereka yang tertindas, kemerdekaan yang tidak memperdayakan

Berilah pada mereka yang sendirian, jodoh-jodoh yang kepadaMu akan saling mendekatkan



Duhai Allah

Berilah hidayah pada para pemimpin kami, agar mereka mengurus dan melayani kami dengan syariatMu yang penuh berkah, dan jadilahkan kami bersatu dalam menerapkan syariatMu ya Allah

Kami rindu dengan Rasulullah, dengan Khulafaur Rasyidin, dengan para Khalifah,



dengan keadilan, kemakmuran dan keberkahan yang diciptakan oleh penerapan SyariahMu,

dengan keberanian Thariq bin Ziyad ketika membakar kapalnya untuk menghapus keraguan pasukannya

dengan kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz sehingga rakyat tak ada lagi yang pantas menerima zakat

dengan kejeniusan Harun ar-Rasyid ketika membangun pusat-pusat ilmu pengetahuan di Baghdad

dengan ketegasan al-Mu’tashim Billah yang menyerbu Romawi untuk membela kehormatan seorang muslimah

dengan kemuliaan jihad Salahuddin al-Ayubi ketika memperlakukan Richard Lion Heart yang terluka

dengan keyakinan Muhammad al-Fatih ketika masuk Konstantinopel untuk memenuhi nubuwah Rasul

dengan ketegasan Sultan Abdul Hamid ketika menolak tawaran-tawaran zionis di Palestina

Berilah kami nikmat sebagaimana Engkau telah beri nikmat kepada mereka ya Allah

Kami yakin bahwa RasulMu benar, Khilafah ala minhajin Nubuwwah akan datang lagi,



Berilah kesempatan kami untuk menyaksikan kebesaranMu itu ya Allah,

dan berilah kami kekuatan dan kesabaran untuk menyumbangkan harta dan jiwa kami dalam perjuangan itu.

Amien ya Rabbal Alamien



Sumber :



http://famhar.multiply.com/journal/item/79

Peradaban Emas Khilafah

Sepanjang sejarah Khilafah tidak semuanya lurus. Khalifah adalah manusia yang juga bisa menyimpang dari Islam. Namun, penyimpangan perilaku khalifah dari hukum syariah bukan karena kesalahan sistem Khilafahnya. Karena itu, kalau ada khalifah yang terbunuh, yang salah bukanlah sistem Khilafahnya, tetapi tindakan pembunuhan itulah yang menyimpang dari hukum syariah. Karena itu, menyerang sistem Khilafah berdasarkan praktiknya yang menyimpang dari syariah Islam tentu adalah kesalahan fatal.

Dalam sejarah sistem demokrasi Amerika Serikat, empat presidennya (Abraham Lincoln, James Abram Garfield, William McKinley, dan John F Kennedy) semuanya tewas terbunuh. Sejarah demokrasi AS juga mengalami perang saudara antara pihak Utara (Union) dengan Selatan (konfederasi). Lebih dari 500 ribu orang terbunuh dalam perang ini. Meskipun demikian, pengusung demokrasi tidak pernah menyalahkan sistem demokrasi karena adanya pembunuhan terhadap presidennya atau perang saudara tersebut.

Karena Khalifah bisa menyimpang, di dalam Islam mengoreksi Khalifah bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban. Hal ini karena Khalifah bukanlah sumber kedaulatan hukum seperti dalam sistem monarki. Khalifah adalah manusia biasa yang mungkin saja keliru. Dalam hadisnya Rasulullah saw. menyebut aktivitas mengoreksi penguasa lalim sebagai afdhal al-jihad (jihad paling utama) dan siapa pun yang meninggal karena mengoreksi pemimpin zalim sebagai sayyid asy-syuhada’.

Sekali lagi, kita harus membedakan sistem Khilafah dengan pelaksanannya dalam sejarah. Adanya penyimpangan dalam pelaksanaan sistem Khilafah tidaklah menggugurkan kewajiban menegakkan Khilafah. Sama seperti adanya orang yang keliru melaksanakan shalat bukan berarti menggugurkan kewajiban shalat. Kewajiban menegakkan Khilafah dan mengangkat kholifah tetaplah wajib adalah berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat.

Namun, dari sejarah kita bisa mengambil pelajaran bahwa setiap pelanggaran atau penyimpangan dari hukum syariah, meskipun di era Khilafah, akan membawa masalah. Apalagi kalau kita tidak melaksanakannya sama sekali seperti sekarang ini. Kita menegaskan pula, Khilafah yang akan kita tegakkan adalah Khilafah yang berdasarkanmanhaj Kenabian (‘ala minhaj an-Nubuwwah), bukan yang menyimpang. Kita tentu saja bertekad, tidak mengulangi penyimpangan-penyimpangan yang pernah dilakukan oleh Khalifah dalam sejarah Kekhilafahan masa lalu.

Mengangkat sebagian sejarah Khilafah yang gelap, tetapi menutup-nutupi sejarah panjang kejayaan Khilafah adalah cara pandang yang tidak obyektif dan juga ahistoris. Apalagi menyatakan sistem Khilafah membelenggu pemikiran umat tanpa disertai bukti-bukti. Bukankah justru dalam sistem Khilafah banyak bermunculan para ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka dengan karyanya yang gemilang—seperti para Imam Madzhab terkemuka, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan banyak lagi lainnya?

Imam Syafii, misalnya, menurut al-Marwazi, karyanya mencapai 113 kitab tentang tafsir, fikih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam Al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah Al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah dan Ar-Risalah al-Jadidah.

Adapun Imam Ahmad bin Hanbal menyusun kitabnya yang terkenal, Al-Musnad. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, an-nasikh wa al-mansukh, tarikh, dll. Imam Ahmad juga menyusun kitab Al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab Ash-Shalah, kitab As-Sunnah, kitab Al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab Al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah, dll.

Cendekiawan Muslim lainnya di era Khilafah bukan hanya fakih di bidang agama, tetapi juga menghasilkan kaya ilmu sains yang diakui dunia. Karya mereka diakui memberikan sumbangan pada era renaisaince Eropa. Menurut Sir Thomas Arnold, tanpa peran Arab (Muslim)—tentu di era Kekhilafahan Islam, ed.—peradaban modern Eropa bisa jadi tidak bangkit sama sekali. “It is highly probable that, but for the Arabs (Muslims), modern European civilization would never have arisen at all.” (Sir Thomas Arnold and Alfred Guillaume, The Legacy of Islam, 1997).

Di bidang kedokteran terdapat Ibnu Sina. Dalam Encylopedia Britannica ditulis tentang karya Ibnu Sina ini: The Canon of Medicine (Al-Qanun fi ath-Thibb) adalah buku yang paling terkenal dalam sejarah kedokteran baik di Timur dan Barat. Buku ini digunakan Sekolah Medis di Timur dan Barat selama 500 tahun. Menurut Toby E Huff, The Canon of Medicine adalah buku pertama yang mengurai obat-obatan berdasarkan pengujian, uji coba obat eksperimental klinis, uji coba terkontrol secara acak, tes efikasi, analisis faktor risiko, dan gagasan tentang sindrom dalam diagnosis penyakit tertentu (Huff, Toby, The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West, Cambridge University Press, 2003).

Di bidang fisika terdapat Al-Kindi (abad IX M). Karya pakar fisika ini tentang fenomena optik diterjemahkan ke Bahasa Latin yang memberikan pengaruh besar Roger Bacon. Pakar fisika yang lain adalah Ibnu Haytam (965-1039 M). Di Barat dikenal dengan Alhazen. Ia adalah pakar di bidang optik dan pencahayaan. Sebanyak 200 judul buku tentang optic dan pencahayaan dinisbatkan kepada beliau. Teorinya lebih dulu 5 abad sebelum teori yang sama dikeluarkan Torricelli. George Sarton (1927) dalam bukunya, Introduction To The History of Science, Volume I: From Homer To Omar Khayyam, memberi gelar Ibnu Haytam dengan Fisikawan Terbesar Abad Pertengahan.

Selain itu, perpustakaan zaman Kehilafah amatlah mengagumkan. Perpustakaan Khalifah al-Hakim di Kairo, misalnya, menyediakan 1,6 juta volume buku. Mengenai hal ini, Bloom and Blair menyatakan, “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf, membaca, dan menulis) Dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Islam: A Thousand Years of Faith and Power).

Keemasan Khilafah ditulis secara jujur oleh sejarahwan dunia seperti Will Durant dalamStory of Civilization. “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.”

Pertanyaannya, bagaimana mungkin karya-karya cemerlang ini lahir dari sistem Khilafah yang dituduhkan jumud atau terbelakang? Namun yang paling penting, kewajiban menegakkan Khilafah bukan didasarkan pada kemaslahatan yang bisa kita raih itu. Kewajiban menegakkan Khilafah adalah kewajiban syariah yang berdasarkan akidah Islam. Kewajiban Khilafah merupakan perkara ma’lum[un] min ad-din bi asdh-dharurah. Demikianlah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat khalifah (menegakkan Khilafah).” [Farid Wadjdi]

Opening Faza's Blog

Assalamu'alaikum!
~Ahlan wa sahlan~

Apa Kabarnya Hari ini?
"Alhamdulillah, Selalu Mencerahkan, Luar Biasa Sukses!"

~Allahu Akbar~