Bertemankan
sepi, diiringi alunan nasyid, dan hembusan angin buatan dari kipas mini-ku.
Malam ini sedikit berbeda dari malam-malam sebelumnya. Ada sebuah kegundahan
yang tak terjawab. Ada sebuah kekhawatiran yang tak dimengerti. Begitupun, ada
sebuah harap yang tak bertuan. Benar-benar malam yang membuatku menjadi sosok
paling bodoh dan benar-benar tak berdaya. Entahlah, apakah kiranya yang
menggerogoti kekuatan dan keyakinan dalam diri, hingga naluri yang sejatinya dapat
diminimalisir, justru menjadi bom waktu yang siap tuk meledak.
Melirik
waktu yang begitu cepat berlalu. Seakan mengeksekusiku dalam perih tak
berkawan. Hanya sang pemilik jiwa ini yang dapat mengerti akan jeritan hati
yang mencekam ini. Tak ada yang bisa ku sembunyikan dari-Nya akan sebuah rasa
rindu, bercampur kekhawatiran yang mendalam. Saat ingatanku menghampiri satu
sosok yang sangat ku sayang, dengan kebersamaan yang belum dapat dikondisikan.
Salahku juga sebenarnya. Ku yang lalai pada kewajibanku sebagai seorang istri.
“Masya Allah, dalam dua minggu perjalananku dengannya, ku masih belum dapat
memberikan rasa nyaman tuknya. Ku senantiasa hadirkan bertubi-tubi masalah
tuknya. Apakah ini cerminan istri yang soleha?”. Di saat seperti ini, pastilah
butir-butir air mata tiada dapat tuk ku bendung. Ia-nya hadir dengan begitu
alami. Mengurai sesak yang terkerangkeng, menjadi kesembaban indera
penglihatanku.
Mungkin,
ku maupun kamu, masih belum terbiasa dengan apa yang kita jalani bersama dalam
dua pekan yang berlalu ini. Seakan cinta itu hadir saat kita bersama, dan
berubah menjadi kekhawatiran yang berlebihan, saat kita berjauhan seperti saat
ini. Terlebih saat tak ku dapati kabar tentangmu. Emosi kian membuncah,
menghadirkan beribu kepiluan yang tak dapat ku kontrol.
Sungguh,
Ku menyadari. Ku bukanlah Khadijah, yang begitu sabar, totalitas dalam menemani
sang suami –Rasulullah- dalam mengemban amanah beliau. Pun, bukan pula
Fathimah, yang begitu setia dan ta’at, menjaga kesempurnaan pengabdiannya pada
sang suami –Ali bin Abi Thalib-. Atau, sosok Maryam, yang begitu kuat melewati
ujian dari Rabb-Nya. Sekalipun, para Shohabiyah tersebut dan shohabiyah lainnya
yang tak pernah lekang oleh waktu menjadi panutanku, dan membuatku iri dengan
keluar-biasaan mereka. Namun, tetaplah ku akui jati diriku sejatinya. Ku
hanyalah sosok yang lemah, dan hanya dengan-Nya, ku menjadi kuat serta dapat
menapaki setiap ujian yang ada. Keyakinanku pada-Nya yang menghantarkanku pada benteng
pertahanan terkokoh yang selama ini telah ku bangun. Hingga kini, ku
benar-benar takut, apabila kecintaanku padamu, bukanlah cinta sang hamba pada
tuannya. Di mana, bisa jadi ku terlupa. Bahwasanya, saat tak ku dapati ridho
darimu, maka Dia pun tak akan curahkan kebarokahan-Nya tukku.
Ku
senantiasa belajar bagaimana menyayangi dan membuatmu nyaman dengan
kehadiranku. Sekalipun, ku pahami, kadang ada saja tingkah polahku yang
membuatmu bertanya-tanya. “Ada apa ini?”. Nasehat bahwa, kebersamaan kita
adalah tuk saling melengkapi dan menguatkan, bukan tuk saling menyakiti, seakan
menjadi tamparan tuk ku renungi. Seperti inikah akan ku dedikasikan diriku
tukmu, sebagai bagian dari tulang rusukmu? Kembali ku terpaku dalam
penyesalanku.
Ku
bertanya pada diriku. “Apakah kamu yang masih belum terbiasa sebagai suamiku,
ataukah ku yang sejatinya belum terbiasa sebagai istrimu?”. Kecamuk kian
bersahutan di kepala yang seakan-akan mau pecah rasanya. “Bagaimanakah kiranya
kita dapat menjadi pasangan yang solid, apabila hingga kini, kita masih belum
bisa tuk saling memahami antara yang satu dengan yang lainnya. Memahami, bahwa
istri kamu ini memiliki tingkat sensitifitas yang luar biasa. Dan memahami,
bahwa kamu adalah suami yang luar biasa dengan agendamu.
Terlebih,
saat memori kembali memoarkan diskusi pra pernikahan kita mengenai “poligami”.
Ya Rabb, sehina inikah ku? Hingga, ku masih belum bisa “legowo” pada qada-Mu.
Memikirkan apa yang belum dapat ku ketahui kejadian nyatanya. Bisa jadi, kelak
berbeda dengan apa yang ku pikirkan kini. Namun, itulah kekuranganku, saat ku
ingin menyayangi dan mencintaimu karena-Nya. Ku terlalu egois pada diriku
maupun dirimu. Padahal, Ridho & Surga-Nya, itu jauh lebih berharga tuk
hamba yang hina sepertiku.
Ya.
Kini ku benar-benar memahami. Perjalanan yang akan ku lalui bersamamu, bukanlah
seperti jalan tol, yang mulus, bebas hambatan. Namun, perjalananku denganmu
ini, ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah lautan lepas. Kadang kita akan
menghadapi ombak yang tenang, dan kadang pun akan kita hadapi ombak yang
dahsyat. Bahkan, bisa jadi badai yang menggelegar, disertai kilat dan petirnya,
siap sedia mengincar biduk pelayaran kita.
Lantas,
apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan membiarkan pelayaran kita tanpa
arah? Ataukah kita sendiri yang akan memporak-porandakan biduk armada pelayaran
kita? Tentu saja tidak, bukan?! Mengapa? Karena cinta dan sayang kita bertautan
antara satu dan lainnya dengan keyakinan pada-Nya. Ya. Kita memiliki Dia
sebagai penunjuk petualangan kita ini. Hingga, sebesar apapun ombak, badai,
kilat dan petir yang kita temui di tengah pelayaran kita, akan mampu tuk kita
lewati bersama. Tentunya, bersama dalam visi nikah yang kita niatkan bersama.
“Dalam Bingkai Pernikahan, Kita Sempurnakan Visi Perubahan”. Senantiasa akan ku
genggam, dan ku jaga kesucian ikatan ini, hingga nanti, saat Dia pertemukan
kita kembali di Istana Cinta kita. Di Surga-Nya. Insya Allah.
Ku
benar-benar ingin menjadi bidadarimu selamanya. Hingga, menjadikan pandangan,
pikiran maupun perasaanmu teralihkan dari bidadari-bidadari langit yang
kecantikan dan kesolehahannya tak diragukan lagi.
Kasihku,
perjalanan kita baru saja dimulai. Maka, mari kita perkuat kesolidan hubungan
kita dengan keyakinan, disertai komunikasi dan kepercayaan yang terajut
karena-Nya. Senantiasa ku menyayangimu dan akan terus menyayangimu. Kau
pangeranku, imamku, sahabatku, suami terbaik dalam hidupku.
Luv
u, Cinta...